A. Biografi M. Mustafa Azami
Nama lengkapnya adalah
Muhammad Mustafa Azami, lebih dikenal dengan nama Azami. Azami adalah nisbah
dari kota kelahirannya yaitu Azamgarh, Azami dilahirkan di kota Mau Nath
Bhanjan, Azamgarh Uttar Pradesh India pada tahun 1932 dari pasangan Abd al
Rahman dan Ayesha. Azami berasal dari keluarga yang sangat sederhana yang cinta
ilmu, walaupun sejak berumur dua tahun Azami telah ditinggal ibunya, tetapi hal
itu tidak mengurangi proses pertumbuhannya.[1]
Ayah Azami adalah
pencinta ilmu dan membenci penjajahan serta bahasa Inggris. Watak ini
mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau
disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan Bahasa Arab. Dari
sinilah Azami mulai belajar Hadis.[2]
Setelah selesai melalui
pendidikan tingkat menengah, Azami meneruskan pendidikan tingkat perguruan
tinggi di India, lalu melanjutkan ke universitas al-Azhar dan ke Cambirdge
Inggris. Secara sederhana, perjalanan intelektual Azami dapat dibagi kepada dua
fase yang cukup berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola pikir Azami dalam
kajian hadis. Fase pertama (1952-1964) pada periode ini, Azami mengalami
transformasi pemikiran dari College of Science di Deoband dan
Universitas al-Azhar Kairo. Fase II (1964-1966) bersentuhan langsung dengan
pemikiran orientalis di Cambridge Inggris.[3]
Kemudian, pada tahun
1968, Azami pindah ke Makkah untuk
mengajar di Universitas Ummul Qura pada fakultas syariah, dan menjadi associate
Professor. Pada tahun 1973, Azami pindah ke Riyadh untuk mengajar di Pasca
Sarjana Jurusan Studi Islam Universitas Riyadh (King Saud University). Azami
mencapai puncak karirnya dengan mendapatkan penghargaan International Raja
Faisal untuk Studi Islam dan memenangkan Award King Khalid. Beberapa tahun
kemudian, ia pindah ke Amerika untuk mengajar di Universitas Denfer Colorado
sebagai dosen tamu. Selain itu, Azami pernah diangkat sebagai cendekiawan tamu
pada Universitas Michigan (Ann Arbor),
St. Cross College (Universitas Oxford), Universitas Princeton bidang
Studi Islam, dan Universitas Colorado (Boulder), dan Professor kehormatan pada
Universitas Wales (lampeter). Di Riyadh, Azami salah satu tokoh pertama yang
menggagas komputerisasi hadits.[4]
B. Latar Belakang M. Mustafa Azami Menulis
Buku Ini
Di bagian pendahuluan
Muhammad Mustafa Azami menjelaskan kegelisahan akademik atau latar belakang ia
menulis buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Dari penjelasan
tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa kegelisahan akademik Muhammad Mustafa
Azami antara lain:
1. Banyaknya orientalis yang sudah
melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi dan hasil penelitian
yang mereka lakukan itu berbeda dengan kebenaran yang ada tentang Hadis Nabi
itu sendiri. Selain itu, perbedaan-perbedaan yang ada seputar Hadis Nabi ini
menimbulkan dampak negatif terhadap otentisitas Hadis sebagai sumber hukum
kedua setelah al-qur’an.
2. Munculnya para pengingkar sunnah di
India akibat dari pengaruh kolonialis Barat. Mereka tidak mengakui bahwa hadis
itu dapat dijadikan sumber hukum. Bahkan menurut Ghulam Ahmad Parwez, salah
satu tokoh ingkar sunnah yang memiliki kegiatan menonjol misalnya, mendirikan
kelompok yang bernama “Ahlul Qur’an” mengatakan bahwa ia tidak hanya menolak
hadis ahad saja tetapi juga menolak hadis mutawatir, seperti hadis tentang
jumlah shalat lima waktu, jumlah rakaat, tata cara shalat dan sebagainya. Ia
berpendapat bahwa al-qur’an hanya berisi perintah untuk mengerjakan shalat
saja. Tentang tata caranya, hal itu diserahkan kepada kepala negara bagaimana
ia mengaturnya dengan mempertimbangkan situasi dan tempat.[5]
C. Sistematika Isi Buku
Buku
Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami yang berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya ini terdiri dari delapan bab pembahasan dan delapan macam lampiran
yang menjadi penguat data yang sudah disebutkan pada pembahasan. Adapun isi
atau pembahasan pada masing-masing bab antara lain:[6]
Bab I
|
Membahas tentang pengertian dan
kedudukan Hadis Nabawi dalam Islam, kehidupan Muslim, baik di dunia maupun
akhirat, dimana hal itu tidak dapat terlepas dari Hadis Nabawi.
|
Bab II
|
Membahas tentang kegiatan pendidikan di jazirah
Arab pada masa Jahiliyah dan permulaan Islam.
|
Bab III
|
Membahas sekitar larangan dan
izin penulisan Hadis dari Nabi SAW. Di sini dijelaskan pula bahwa larangan
itu hanya berlaku apabila penulisan Hadis itu dilakukan bersamaan dengan
penlisan al-Qur’an. Atau, bahwa Hadis yang melarang penulisan Hadis itu sudah
dihapus masa berlakunya (mansukh).
|
Bab IV
|
Membahas tentang tulisan-tulisan
Hadis yang dilakukan oleh para Sahabat. Begitu pula tulisan-tulisan para
Tabi’in tentang Hadis-hadis yang berasal dari para sahabat, tulisan-tulisan
para Tabi’in sendiri, serta tulisan-tulisan para Tabi’ut-Tabi’in (generasi
sesudah Tabi’in) tentang Hadis-hadis yang mereka terima dari Tabi’in.
Untuk generasi Tabi’ut-Tabi’in,
mereka yang lahir setelah tahun 110 hijriyah tidak disebutkan di sini,
meskipun ahli-ahli Hadis menulis Hdis-hadis yang berasal dari mereka. Sebab
tujuan penulisan Bab ini adalah untuk mengetahui cara penyebaran Hadis pada
saat itu sampai kira-kira munculnya kitab al-Muwatta’ karangan Imam
Malik. Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian bab ini adalah pembuktian
adanya ribuan kitab yang beredar pada masa Tabi’ut-Tabi’in.
|
Bab V
|
Membahas cara penyebaran Hadis,
atau cara belajar dan mengajarkan Hadis (tahammul al-‘ilm) secara
umum. Serta menjelaskan metode yang dipakai dalam mempelajari Hadis pada saat
itu. Bab ini juga memberikan gambaran tentang sejauh mana perhatian kaum
Muslimin dapat berkhidmah terhadap Hadis Nabawi di satu segi, dan menyebarkan
buku-buku di segi lain.
|
Bab VI
|
Membahas kitab-kitab Hadis
ditinjau dari segi bentuk dan alat tulisannya. Juga membahas tentang adanya
pencurian Hadis, atau tambahan tulisan yang dilakukan oleh orang lain, bukan
pengarangnya, serta masalah-masalah lain yang masih berkaitan.
|
Bab VII
|
Khusus membahas permasalahan
sanad Hadis, dan kesalahan pahaman sementara orang tentang hal itu. Begitu
pula tentang menilai sistem sanad dari segi ilmiahnya, serta pembuktian bahwa
sanad Hadis sudah ada sejak masa Nabi SAW.
|
Bab VIII
|
Membahas tentang sejauh mana
Hadis nabawi itu dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
|
Sedangkan
lampiran-lampiran dalam buku ini antara lain:[7]
Lampiran I
|
Membahas pengertian sejumlah
istilah yang sering dipakai dikalangan ahli-ahli Hadis, seperti sami’tu
(saya mendengar), hadatsana (kami di beritahu hadis ini oleh…), ‘akhbarana
(kami diberi kabar oleh….), ‘an (dari), dan lain-lain. Sebab
istilah-istilah yang terdapat dalam sanad Hadis ini sering menimbulkan
kesalahpahaman sementara peneliti, di mana mereka menganggap bahwa Hadis itu
disebarkan secara lisan. Dan ternyata istilah-istilah itu dipakai untuk imla’
dan bacaan, baik berdasarkan hafalan maupun kitab.
|
Lampiran II
|
Tentang jawaban terhadap sementara
orang yang kebingungan menghadapi jumlah Hadis yang mencapai tujuh ratus ribu
buah. Di mana hal itu telah mendorong para orientalis untuk membantah
otentisitas Hadis Nabawi, karena jumlah itu tidak masuk akal. Begitu pula
jawaban terhadap sementara orang yang menuduh bahwa ahli-ahli Hadis telah
memalsukam Hadis Nabawi. Sebab menurut mereka, dari setiap dua ratus Hadis
sulit ditemukan satu Hadis yang shahih. Sehingga pendapat yang mengatakan
bahwa Hadis itu berasal dari Nabi SAW sulit diterima.
Dalam
lampiran ini juga dijelaskan bahwa cara berpikir mereka hanyalah berangkat
dari ketidaktahuan mereka terhadap metode ahli-ahli Hadis.
|
Lampiran III
|
Cuplikan dari Naskah al-Zubair
bin ‘Adiy yang tidak otentik (palsu).
|
Lampiran IV
|
Cuplikan dari kitab al-Maghazi
karangan Ibnu Ishaq, yang sama dengan kitab Sirah Ibn Hisyam yang
sudah dicetak.
|
Lampiran V
|
Lembaran 42 dari manuskrip kitab Shahih
Ibn Khuzaimah.
|
Lampiran VI
|
Halaman pertama dari Naskah
Hadis-hadis Abu al-Yaman al-Hakam bin Nafi’.
|
Lampiran VII
|
Halaman pertama dari Naskah
Hadis-hadis Abu ‘Ubaidullah ‘Umar.
|
Lampiran VIII
|
Membahas beberapa manuskrip yang
di seleksikan dari lebih sepuluh manuskrip, di mana para penulisnya hidup
kira-kira sejak akhir abad kedua hijriyah. Meskipun semua manuskrip itu dapat
ditahqiq (critical edition), namun yang dilakukan di sini hanya
satu saja. Hal itu agar hasil ‘critical edition’ itu lebih baik. Dan
sebuah manuskrip yang ditahqiq itu adalah Naskah Suhail bin Abu
Shalih, yang berisi Hadis dari ayahnya, dari Abu Hurairah
|
Adapun fokus kajian dalam makalah
ini adalah:
- Pengertian Sunnah di kalangan Muslim dan Orientalis
- Penulisan hadis menurut kaum Muslim dan Oreintalis.
- Penyebaran Hadis
- Pemakaian Isnad
- Otentitas Hadis
1. Pengertian Sunnah di kalangan Muslim dan
Orientalis
Secara
etimologi, Sunnah berarti syariah, tabiat, perilaku, dan tata cara atau jalan.[8]
Allah SWT berfirman dalam al-qur’an sebagai berikut:[9]
يُرِيدُ
ٱللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
Allah hendak menerangkan (hukum
syari´at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum
kamu (para nabi dan shalihin). (QS. an-Nisa’: 26)
Kata
“sunan” dalam ayat tersebut berbentuk jamak. Menurut Ibnu Katsir,
kata tersebut berarti “tata cara orang-orang dahulu yang terpuji dan mengikuti
syariat Allah yang mendapat ridha daripada-Nya.[10]
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:[11]
مَنْ سَنَّ سُنّةً
حَسَنةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِها اِلَى يَوْم الْقِيامَةِ، و مَنْ
سَنَّ سُنّةً سَيِّئَةً فَعَليْهِ وِزْرُهاَ وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِها اِلَى
يَوْم الْقِيامَةِ. – متفق عليه -
Barangsiapa yang memelopori
mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas
perbuatan itu dan pahala
orang-orang yang mengerjakannya hingga hari Kiamat. Dan barangsiapa memelopori
mengerjakan suatu perbuatan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu,
dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Al-Tahanuwi
juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi berarti tata cara, baik maupun
buruk.[12]
Adapun
pengertian sunnah secara epistimologi atau istilah antara lain:
1. Menurut ahli hadis, sunnah adalah segala
sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan,
sifat baik, sifat fisik atau perangai (akhlak), dan/atau sejarah, baik sebelum
diangkat menjadi Rasul seperti menyendiri beribadah dalam Gua Hira atau
setelahnya.[13]
2. Menurut ulama Ushul Fiqh, sunnah adalah
segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan
maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum.[14]
3. Menurut ulama Fiqih, sunnah adalah
hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan,
tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[15]
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan
bahwa secara etimologi Sunnah berarti tata cara atau jalan yang digunakan orang
dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Sedangkan pengertian Sunnah
menurut epistimologi atau istilah, ulama memilki perbedaan pendapat. Hal
demikian terjadi karena latar belakang keilmuan yang mereka miliki. Pada
intinya sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW.
Sedangkan pengertian Sunnah di kalangan orientalis
antara lain:
1.
Menurut Schacht, konsep awal Sunnah adalah “tradisi yang hidup” dalam
mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau “praktek yang
disepakati secara umum” (‘amal, al-amr al-mujtama’ ‘alaih). Konsep ini
tidak ada hubungannya dengan Nabi.[16]
2.
Goldziher
menjelaskan bahwa kata “Sunnah” itu semula adalah istilah animis kemudian
dipakai oleh orang-orang Islam.[17]
3.
Menurut
Margoliouth, pengertian sunnah sebagai sumber hukum pada mulanya adalah masalah
yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa-masa
belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi SAW
saja.[18]
Dari beberapa kutipan tersebut, dapat
dipahami bahwa pengertian sunnah yang dikemukakan oleh para orientalis sangat
bertentangan dengan pengertian sunnah secara etimologi maupun epistmologi
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu Azami memberikan
sanggahan terhadap para orientalis tersebut.
Menurut Azami, kata sunnah memang
berasal dari bahasa Arab dan telah dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut
diartikan secara bahasa sebagai tata cara, perilaku hidup, syariah, dan jalan
hidup, terpuji atau tercela. Kata sunnah ini dapat ditemukan di berbagai syair
Arab pra-Islam maupun sesudah masa Islam. Goldziher dan Schacht dipandang oleh
Azami terjebak dalam memahami makna sunnah sebagai masalah yang ideal dan norma
yang disepakati masyarakat. Jadi sunnah Nabi saw lepas dari aturan dan tradisi
orang-orang pra-Islam. Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku
kehidupan Nabi saw jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang
jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas
dasar mengadopsi tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan
menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti
tetapi tidak berkisar pada permasalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang
dari doktrin Islam.[19]
2. Penulisan Hadis menurut kaum Muslim dan
Oreintalis.
Pada bagian ini penulis
akan memaparkan pandangan ulama dan sarjana Muslim serta Orientalis seputar
penulisan hadis Nabi. Pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan
adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara
lisan) sampai akhir abad pertama hijriyah.[20]
Akan, tetapi, sejumlah data sejarah menunjukkan bahwa pada periode Nabi SAW
telah ditulis beberapa dokumen hadis baik yang bersifat resmi maupun tidak
resmi namun belum bersifat publik.[21]
Menurut Azami, masalah
pokok yang menyebabkan para ahli berpendapat bahwa pembukuan hadis terlambat
sampai seratus tahun atau lebih adalah karena mereka hanya mengikuti pendapat
yang populer di kalangan mereka, tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan
bahwa hadis sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[22]
Misalnya, Ibnu Hajar
al-‘Asqalaniy (w. 852) menyatakan bahwa hadis belum disusun dan dibukukan
selama periode sahabat dan tabiin senior karena didasarkan pada dua argumen
berikut: pertama, pada mulanya mereka memang dilarang untuk menuliskan
hadis seperti yang disebutkan dalam Shahih Muslim karena dikhawatirkan
akan mendistorsi al-Qur’an; kedua, mereka mempunyai hafalan yang kuat
dan otak yang cerdas, disamping juga mayoritasnya memang tidak mampu menulis.
Argumen Ibnu Hajar ini kemudian diperkokoh oleh al-Suyuthiy (w. 911 H), yang
juga mengakui bahwa hadis belum disusun dan dibukukan sepanjang periode sahabat
dan tabiin karena dua alasan itu.[23]
Selain itu terdapat ulama-ulama kontemporer yang sependapat dengan Ibnu Hajar
dan al-Suyuthiy seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, Rasyid Ridla dan Taufiq Shidqiy.[24]
Kemudian, sejumlah
orientalis juga memiliki pandangan yang senada. Muir misalnya berpendapat bahwa
hadis belum dicatat sepanjang abad I H dan khalifah Umar bin Abdul Aziz
merupakan orang yang pertama kali memerintahkan agar hadis ditulis secara
resmi. Orientalis lain yang sependapat dengan Muir adalah Sprenger dan Juynboll.
Sedangkan menurut Goldziher, hadis baru ditulis dan dihimpun pada era yang
lebih belakangan lagi.[25]
Bahkan ia mengatakan bahwa para sahabat dan tabiin berperan dalam pemalsuan
hadis.[26]
Adapun menurut Schacht, sangat sulit sekali
menganggap bahwa hadis-hadis yang ada kaitannya dengan fiqih itu ada yang
shahih. Sebab hadis-hadis itu dibikin untuk diedarkan di kalangan masyarakat
sejak paruh pertama dari abad kedua sampai seterusnya.[27]
Dari pandangan Schacht ini dapatlah diketahui bahwa pencatatan hadis yang
dilakukan semasa khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah palsu. Sebab menurutnya
hadis-hadis hukum itu baru muncul pasca era Umar bin Abdul Aziz. Demikian pula,
Guillaume menilai tidak asli beberapa kumpulan hadis yang ditulis pada masa
yang lebih awal dari pertangahan atau akhir abad II H.[28]
Dari paparan tersebut,
dapat dipahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang penulisan hadis Nabi
SAW. ada yang berpendapat bahwa hadis itu sudah ditulis dan dibukukan pada
akhir abad pertama hijriyah dan ada pula yang berpendapat sebaliknya, seperti
yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dan al-Suyuthiy serta beberapa ulama
kontomporer. Selain itu juga, pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para
orientalis sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, Azami
melakukan sanggahan terhadap pendapat-pendapat mereka. Untuk pendapat Ibnu
Hajar, Azami menjelaskan bahwa penguasaan tulis menulis di kalangan Sahabat dan
Tabiin Tua tidak seminim yang digambarkan oleh para penulis pada umumnya.
Apabila kita menolak fakta ini, maka bagaimana al-qur’an itu dapat ditulis?
Apakah para sahabat tidak menulis al-qur‘an satu persatu? Lalu apa pula maksud
hadis ”jangan kalian tulis yang kuucapkan, selain al-qur’an”? sebab seandainya
para sahabat tidak dapat menulis tentu tidak perlu ada lagi larangan tersebut.
Banyaknya jumlah sekretaris-sekretaris Nabi dan adanya sistem administrasi
dalam negara besar pada masa Khulafa Rasyidin tak pelak menuntut adanya penulis-penulis
yang cakap dalam ilmu hitung dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dipastikan
bahwa pada masa itu para sahabat banyak yang pandai menulis dan membaca.[29]
Kemudian, sanggahan
Azami selanjutnya terkait dengan pendapat para orientalis yaitu setelah ia
melakukan penelitian serius terhadap berbagai dokumen tertulis hadis dari masa
awal Islam berketetapan bahwa hadis telah mulai ditulis oleh para sahabat sejak
periode Nabi SAW. dan pada kesempatan tertentu beliau telah mendiktekan
hadisnya kepada para sahabat. Iapun mengajukan sejumlah nama sahabat yang
terlibat aktif dalam penulisan hadis dan berdasarkan fakta yang ada iapun
berkesimpulan bahwa kebanyakan hadis sudah didokumentasikan secara tertulis
sejak masa hidup para sahabat.[30] Di dalam bukunya, Azami juga membuat
daftar lima puluh sahabat, empat puluh delapan tabi’in pada abad pertama
hijriah, delapan puluh enam pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, yang
menurutnya terlibat dalam kegiatan tulis menulis.
Hasil penelitian Azami
ini juga senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Imtiyaz Ahmad dan
Muhammad Ajjaj al-Khathib. Dalam penelitian Imtiyaz Ahmad yang cukup cermat
terhadap dokumen-dokumen awal hadis berkesimpulan bahwa hadis mulai dituliskan
pada periode Nabi SAW. Dan dalam penelitian Muhammad Ajjaj al-Khathib yang
mengangkat tema seputar perkembangan sunnah pada masa sebelum dilakukan tadwin
secara resmi dan publik, berkesimpulan bahwa hadis telah mulai dicatat dan
dihimpun pada periode Nabi SAW.[31]
3. Penyebaran Hadis (Tahammul al-Hadis)
Kaifiyah
Tahammul al-Hadis (tata cara menerima hadis) adalah
penjelasan tentang sistem pengambilan dan penerimaan hadis dari guru-gurunya.[32]
Pada sub ini penulis akan memaparkan metode-metode yang digunakan dalam
penerimaan hadis atau dalam mengajarkan hadis.
Menurut Azami metode
dalam mengajarkan hadis dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu: pertama,
mengajarkan hadis secara lisan, kedua, membacakan hadis dari suatu
kitab, ketiga, metode soal-jawab, dan keempat, metode imla’.[33] Akan tetapi dari beberapa sumber lain[34]
dijelaskan bahwa metode penerimaan riwayat hadis dikelompokkan menjadi delapan
macam, anatara lain:
1. Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh
3. Al-Ijazah
(izin)
4. Al-Munawalah
(pemberian)
5. Al-Kitabah
6. Al-I’lam (pemberitahuan)
7. Al-Washiyah (pesan)
8. Al-Wijadah (penemuan)
Penulis akan memaparkan
penjelasan ringkas dari kedelapan metode penerimaan hadis tersebut, karena
menurut kami metode-metode tersebut lebih lengkap daripada metode-metode yang
disebutkan oleh Azami. Walaupun ulama berbeda
pendapat tentang kebolehan menggunakan beberapa metode tersebut.
1. Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh
Ialah penerimaan hadis dengan cara
mendengar langsung lafal hadis yang dibaca guru hadis, baik yang dibaca itu
berdasar hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh penerimanya.[35]
Metode penyampaian hadis ini menurut Jumhur ulama menempati tingkat akurasi
tinggi. Hal ini karena di masa Rasulullah, cara ini pulalah yang banyak
digunakan dalam periwayatan hadis. Pada masa Rasulullah, seringkali para
sahabat mendengarkan apa yang didiktekan oleh Nabi dalam halaqah ilmiah
bersama beliau. Dengan cara ini pulalah maka katerpeliharaan hadits dari
kekeliruan dan kealpaan bisa diminimalisir. Cara ini juga dinilai sebagai
teknik transformasi yang paling valid, karena dianggap mendekati kebenaran.
Alasannya adalah setelah para sahabat selesai mendengarkan penjelasana Nabi
tentang suatu persoalan, mereka sering melakukan konfirmasi dengan cara
mencocokkan antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain.[36]
Terdapat dua model pelaksanaan dalam
metode ini yakni model pendiktean guru kepada muridnya berdasarkan hafalannya
di satu sisi dan model pendiktean berdasarkan tulisannya. Para ulama tidak
memperselisihkan bobot akurasi periwayatan hadis dengan dua model tersebut.
Justru jumhur ulama cenderung mempersamakannya, hingga kemudian mereka
mengklaim bahwa periwayatan hadis dengan metode inilah yang memiliki bobot
akurasi tertinggi di antara metode-metode lainnya.[37]
Menurut al-Qadli ‘Iyadh, redaksi
penyampaiannya dapat menggunakan lafazh سمعت،
قال لي، ذكر لنا، أخبرنا، أنبأنا، حدثنا. Sedangkan menurut al-Khathib al-Baghdadi, redaksi yang paling
akurat adalah: سمعت، حدثنا، حدثني، أخبرنا.[38]
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh
Mayoritas ahli hadis
menyebut metode ini dengan sebutan ‘ardl (sorogan). Dalam
periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan hadisnya pada seorang guru.
Atau orang lain yang membacakannya dan kita mendengarkannya dengan baik. Dan
hadis yang dibacanya itu bisa berasal dari sebuah kiab atau merupakan
hafalannya.[39]
Terdapat tiga perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang tingkat akurasi metode ini, yaitu:[40]
a.
Pertama,
bahwasannya membacakan hadis kepada guru yang demikian ini lebih tinggi bobot
akurasinya dibandingkan dengan mendengarkan bacaan dari guru. Demikian menurut
pendapat dari Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi’b dan lain-lain. Namun sayangnya mereka
tidak mengemukakan argumentasinya secara tegas. Agaknya, alasan pendapat
tersebut adalah karena membacakan hadis kepada guru itu lebih merupakan atau
lebih merujuk kepada adanya aktivitas murid, meskipun dalam satu dan beberapa
hal guru akan mengoreksinya jika memang dalam bacaan murid tersebut terdapat
kekeliruan.
b.
Kedua,
pendapat yang cenderung mensyaratkan bobot akurasi metode al-qira’ah ini
dengan metode al-sima’. Kelompok ini diwakili oleh ulama Hijaz, ulama
Kufah, Imam Malik dan sahabat-sahabat serta guru-gurunya dari ulama Madinah,
al-Bukhari dan lain-lain.
c. Ketiga,
pendapat yang mengatakan bahwa metode al-sima’ lebih tinggi bobot
akurasinya dibandingkan dengan al-qira’ah, sehingga kemudian mereka
memposisikan metode al-qira’ah ini pada peringkat kedua setelah al-sima’.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Umumnya redaksi yang
digunakan dalam metode ini ialah قرأت على فلان او قرئ عليه او أنا أسمع فأقرأ به. Atau bisa menggunakan redaksi yang digunakan pada
metode al-Sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah, misalnya حدثنا قراءة عليه. Akan tetapi, redaksi yang sering dipakai oleh sebagian
besar ulama hadis hanya kata أخبرنا.[41]
3. Al-Ijazah
(izin)
Periwayatan
hadis melalui metode ini caranya adalah dengan memberikan izin kepada muridnya,
baik secara lafzhi maupun kitab, seperti pernyataan seorang guru أجزت لك أن تروى عن صحيح البخارى (saya
mengizinkan kepada anda untuk meriwayatkan dariku hadis-hadis dalam kitab
Shahih al-Bukhari)[42].
Metode
Al-Ijazah ini terbagi
menjadi tujuh macam. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan satu macam saja
yaitu seorang guru memberikan ijazah hadis tertentu kepada orang tertentu,
seperti: أجزتك صحيح
البخارى. Karena bentuk yang penulis
sebutkan ini adalah jenis ijazah yang paling tinggi kualitasnya.
- Al-Munawalah (pemberian)
Ada dua macam bentuk
periwayatan hadis melalui metode Al-Munawalah. Pertama, Munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang
syaikh memberikan kitab kepada muridnya seraya berkata kepadanya “ini adalah
riwayatku dari Fulan maka riwayatkanlah ia dariku” kemudian mengabadikan kitab
tersebut untuk dimilikinya atau sebagai pinjaman agar disalinnya. Kedua, Munawalah yang tidak
dibarengi dengan ijazah. Caranya adalah seorang syaikh menerahkan kitabnya
kepada murinya dengan hanya menyatakan secara ringkas ini adalah riwayat yang
aku dengar.[43]
Redaksi yang digunaka pada
metode ini adalahناولنى أو ناولنى و اجازلى . Atau boleh juga memakai redaksi al-sama’ atau al-qira’ah
yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah, seperti:حدثنا مناولة أو أخبرنا مناولة وإجازة .[44]
- Al-Kitabah
Dalam
metode ini, seorang guru menuliskan hadis yang diterimanya untuk pada muridnya
yang hadir dan yang tidak hadir, baik hadisnya itu ia tulis sendiri atau
merupakan tulisan orang lain yang diperintahnya. Metode ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu kitabah yang tidak disertai dengan ijazah dan kitabah
yang disertai dengan ijazah.[45]
Redaksi
yang digunakan dalam metode ini adalah كتب
إلي فلان, atau memakai redaksi al-sama’
atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan lafal kitabah seperti حدثنى
فلان أو أخبرنى كتابة. [46]
- Al-I’lam (pemberitahuan)
Dalam metode ini, seorang guru
memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis atau kitab yang ada padanya itu
adalah hadis yang diterimanya dari gurunya dan ia tidak mengizinkan hadisnya
itu diriwayatkan, karena ia hanya memberitahukan hadis itu pada muridnya.[47]
Redaksi periwayatannya biasanya menggunakan lafazh اعلمنى الشيخ بكذا.[48]
- Al-Washiyah (pesan)
Dalam metode ini, seorang guru
memberikan wasiat suatu kitab yang diriwayatkannya pada muridnya, ketika guru
tersebut sudah mendekati ajalnya atau ia akan berpergian jauh. Sekelompok ulama kalangan salaf membolehkan metode ini
bagi seseorang yang memang diwasiati gurunya untuk meriwayatkan hadis gurunya
itu. Ini pendapat yang tidak tepat. Karena pendapat yang tepat menyatakan bahwa
periwayatan seperti ini tidak dibenarkan.[49]
- Al-Wijadah (penemuan)
Artinya, seorang murid
menemukan beberapa hadis catatan seorang guru hadis yang dikenalnya dan tidak
diperoleh dengan cara mendengar atau ijazah.[50]
Meriwayatkan hadis melalui ini dihukumi munqathi’ oleh para ulama.
Redaksi yang digunakan biasanya lafazh وجدت بخط فلان atau قرات يخط
فلان, kemudian ia
mengungkapkan sanadnya dan matan hadis tersebut.[51]
Menurut penulis, dari
depalan metode yang sudah dijelaskan tersebut metode yang paling sering
digunakan dalam periwayatan hadis adalah Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh
dan Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh karena menurut mayoritas ulama dua metode
ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi daripada metode-metode yang lain,
selain itu metode-metode periwayatan yang lain masih diperselisihkan tingkat
akurasinya. Misalnya, seorang perawi yang tsiqah, apabila ia memakai sighat
al-ada sami’na dimana lambang tersebut mencerminkan metode periwayatan
hadis dengan Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh, maka secara otomatis para
ulama ahli hadis mengakui bobot akurasinya. Sebaliknya, apabila seorang perawi
yang tsiqah memakai sighat al-ada yang masih diperselisihkan
tingkat akurasinya, maka tidak tertutup kemungkinan adanya cacat yang
tersembunyi.[52]
Kemudian, terkait
dengan hadis yang menggunakan sighat ‘an atau anna, para ulama menetapkan beberapa kriteria yang harus
dipenuhinya, sebagaimana disebut Syuhudi Ismail, yakni: pertama, pada
sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat tadlis (penyembunyian
cacat); kedua, para perawi yang namanya beriring dan diantarai oleh
lambang ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan; ketiga,
perawi yang menggunakan lambang ‘an atau anna itu adalah perawi
yang dinilai tsiqah.[53]
4. Pemakaian Isnad
Dalam membahas dan
mengevaluasi sistem sanad kita harus sadar bahwa sanad merupakan satu hal yang
sangat penting dalam Islam. Ketika kita yakin bahwa satu hadis dapat
menghasilkan hukum maka kita harus sadar bahwa hadis tersebut juga bersandar
pada sanad yang apabila lemah atau dhaif maka kita tidak bisa
menjadikanya sebagai sumber hukum. Ibn Mubarak (wafat: 181H) pernah mengatakan:
Sanad adalah bagian dari agama, jika tidak ada sanad setiap orang akan bebas
melaporkan apa yang ia inginkan[54].
Dalam melakukan kajian
sanad, para orientalis tampaknya lebih benyak menyoroti tentang kapan sanad itu
dimulai dalam periwayatan hadis. Menurut Caetani, ’Urwah (w. 94 H.) adalah
orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa pada masa ’Abd al-Malik (w. antara 70-80 H.),
penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani
berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimulai pada masa antara ’Urwah dengan
Ibn Ishaq (w. 151 H.). Berdasar pada pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa
sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa
para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriyah. Pendapat ini didukung
oleh Alois Sprenger.[55]
Selain itu, orientalis yang mengkritik sanad habis-habisan
adalah Joseph Schahct. Dalam The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, ia berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah
palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam
bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada
paruh kedua abad ketiga Hijriyah.[56]
Sebagaimana yang dikutip oleh Ali
Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan: We shall not meet any legal tradition
from the prophet which can be considered authentic. (Kita tidak akan dapat
menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat
dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).[57]
Artinya hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika tidak dipakai
sebagai argumen hukum. Hal ini beranjak dari premis dasar, jika suatu hadis
tidak dirujuk dalam diskusi hukum maka hadis itu pasti telah dipalsukan pada
masa antara dua ulama.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem
isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama abad
kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi
Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:[58]
a.
Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal,
akhir abad pertama.
b.
Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan
sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
c.
Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan;
isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi
pada masa koleksi-koleksi klasik.
d.
Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk
menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke
belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang
disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
e.
Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu
merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Selanjutnya dalam rangka membuktikan dasar-dasar
pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun
beberapa teori berikut ini:
- Teori Projecting Back
Projecting
Back
atau backward projection adalah teori Schacht guna menelusuri asal-usul
serta otentisitas hadits didasarkan pada perkembangan sanad yang ada dalam
tradisi muhaddisin. Ketika hadits sudah dinyatakan sebagai doktrin yang
dipalsukan maka kemungkinan telah dilakukan projecting back. Pada
intinya backward projection adalah upaya baik dari aliran fikih klasik
maupun dari para ahli hadis untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka pada
otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabiin, sahabat, dan
akhirnya pada Nabi Muhammad SAW. Projecting back adalah isnad-isnad
meningkat secara bertahap oleh pemalsuan, isnad yang tidak lengkap sebelumnya
dilengkapi pada waktu koleksi-koleksi klasik.[59]
Salah
satu contoh projecting back seperti yang dicontohkan oleh Schacht
misalnya Malik merujuk kepada instruksi yang diberikan oleh Umar mengenai zakat
tanpa isnad, tetapi kemudian instruksi yang diberikan itu dikembangkan dalam
Musnad Ibn Hanbal dan dalam koleksi hadis klasik dimana isnadnya menjadi
lengkap dan diproyeksikan ke belakang yakni kepada Nabi. [60]
- Teori Common Link
Common
link
adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu
hadits dari seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid
yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya kembali kepada dua
atau lebih dari muridnya. keberadaan common link (tokoh penghubung/common
trasmitter) dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa hadits itu
berasal dari masa tokoh tersebut. Dengan kata lain, common link adalah
periwayat tertua yang disebut dalam bundel isnad yang meneruskan hadits kepada
lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika bundel isnad hadits itu mulai
menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.[61]
Teori
ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu
pada seorang rawi (periwayat hadits), maka semakin besar pula jalur periwayatan
tersebut mempunyai klaim kesejarahan atau shahih. Artinya, jalur periwayatan
yang dapat dipercaya secara otentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke
lebih dari satu jalur, sementara yang hanya bercabang satu jalur (single
strand), tidak dapat dipercaya kebenarannya (dhaif).
- Teori E silentio
E
silentio
adalah alat pokok yang dipakai Schacht untuk menguji kebenaran hadits Nabi. Teori
ini berawal dari asumsi Schacht bahwa cara terbaik untuk membuktikan hadis
tidak ada pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan hadis tersebut tidak
dipergunakan sebagai argumen hukum (padahal hadits itu ada).[64]
Artinya hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika tidak dipakai
sebagai argumen hukum. Hal ini beranjak dari premis dasar, jika suatu hadis
tidak dirujuk dalam diskusi hukum maka hadis itu pasti telah dipalsukan pada
masa antara dua ulama.
Salah satu contoh e silentio
adalah “hadits puasa” sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kamaruddin Amin dalam
bukunya Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, selain itu
beliau juga langsung memberikan sanggahan terhadap teori tersebut, seperti
penjelasan berikut ini.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
‘Abd Ar-Razaq dari Ibnu Juraij - ‘Atha’, yang ditemukan dalam Mushannaf
‘Abd Ar-Razaq - Ibnu Juraij -‘Atha’- Abu Shalih - Abu Hurairah - Nabi. Kalau
kita mengikuti premis Juynboll, maka kita pasti menuduh Muslim atau gurunya
Muhammad bin Rafi’ telah memalsukan hadits tersebut.[65]
Namun demikian, terdapat sejumlah alasan
yang sangat kuat untuk menoak dugaan bahwa Muslim atau gurunya telah
membuat-buat hadis tersebut, meskipun tidak terdapat dalam Mushannaf ‘Abd
Ar-Razaq. Pertama, adalah kekeliruan logis menganggap tidak terdapatnya hadis
tersebut dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq sebagai bukti yang sangat kuat
bahwa ‘Abd Ar-Razaq tidak mengetahui. Ketidaktahuan hanyalah salah satu
kemungkinan alasan ketiadaan hadis tersebut dalam Mushannaf. Adalah juga
mungkin bahwa ‘Abd Ar-Razaq merujuk hadis tersebut dalam teks yang telah hilang
atau termutilasi pada masa Ishaq bin Ibrahim Ad-Dabari, perawi yang kepadanya
bagian besar versi Mushannaf merujuk. Dengan kata lain, klaim Muslim
telah menerima hadis dari ‘Abd Ar-Razaq dari Muhammad bin Rafi’ tidak dapat
ditolak hanya karena argumen e silentio.[66]
Demikian pula, sebuah perbandingan
antara riwayat ‘Abd Ar-Razaq yang terdapat dalam Shahih Muslim dengan
varian-varian dari perawi lain dari Ibnu Juraij, yaitu riwayat Rauh dan Hisyam
yang masing-masing terdapat dalam Musnad Ibnu Hanbal dan Shahih
Al-Bukhari, mengungkap bahwa riwayat-riwayat tersebut memiliki ciri-ciri yang
khas yang membawa kita untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Juraij adalah sumber
bersama dari ‘Abd Ar-Razaq, Hisyam dan Rauh. Saling ketergantungan antara
teks-teks dapat dinafikan. Dengan kata lain, riwayat yang disandarkan kepada
‘Abd Ar-Razaq dalam Shalih Muslim sangat mungkin diriwayatkan oleh ‘Abd
Ar-Razaq, karena riwayat tesebut didukung oleh riwayat-riwayat Rauh dan Hisyam.
[67]
Oleh karena itu, tidak ditemukannya
hadis tersebut dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq bukanlah bukti tidak adanya
riwayat tersebut. Berdasarkan contoh ini dan karena sumber-sumber yang
tersimpan dari abad kedua dan bahkan abad ketiga hijriyah sangat
terpencar-pencar, maka merujuk kepada argumen e silentio adalah berbahaya
dan dapat membawa kepada asersi yang tidak berdasar.[68]
- Teori Isnad Keluarga
Isnad keluarga adalah segala bentuk
periwayatan yang dalam rangkaian sanadnya ada hubungan. Kata keluarga di sini
tidak hanya menyangkut hubungan darah tetapi juga hubungan mawali yaitu
hubungan budak dengan tuannya.[69]
Schacht
mengatakan bahwa semua sanad yang berasal dari satu keluarga atau keturunan
adalah palsu. Misalnya dari ayah kepada anak laki laki dari bibi ke kemenakan
laki laki, atau dari majikan yang dibebaskan, ketika kita analisa hadis-hadis
tersebut, kita temukan hadis keluarga ini palsu.[70]
Salah satu contoh isnad keluarga
diantaranya adalah Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya, Isa bin Abdullah dari
ayahnya, Katsir bin Abdullah dari ayahnya, Musa bin Mathir dari ayahnya, Yahya
bin Abdullah dari ayahnya, Nafi’ dari tuannya Ibnu Umar, dan Muhammad bin Sirin
dari tuannya Anas bin Malik.
Selanjutnya, Azami
membantah tuduhan-tuduhan yang diberikan para orientalis terkait keberadaan
sanad dalam hadis Nabi, antara lain: pertama, kenyataan sejarah
membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti
anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majlis nabi untuk menyampaikan
hadis kepada yang tidak hadir. Kedua, mayoritas pemalsuan hadis terjadi
pada tahun keempat puluh tahun Hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik,
karena diantara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat
hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka. Ketiga, objek
penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang
mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah. Keempat,
teori Projecting Back (al-qadhf al-khalf) yang dijadikan dasar
argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya
menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis. Kelima,
tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfū’
hadis yang mawqūf atau menjadikan muttasil hadis yang mursal.
Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu
pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan
melawan realitas sejarah. Keenam,
penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala
kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.[71]
5. Otentisitas Hadis
Pada sub bab ini
penulis akan memaparkan otentisitas hadis dari segi matannya saja, karena
mengenai sanad hadis sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Metode yang
digunakan ahli-ahli Hadis dinilai lemah oleh para orientalis dan orang-orang
yang sependapat dengan mereka. Karena itu mereka menolak metode itu dan membuat
metode sendiri yang kemudian dikenal dengan “metode kritik matan Hadis”.[72]
Berikut akan dipaparkan pendapat
dua orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Wensinck tentang matan hadis serta
bantahan Azami terhadap pendapat mereka.
a. Kritik Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher menyatakan bahwa hadis
yang diriwayatkan al-Bukhari yang berasal dari imam Zuhri adalah bertendensi
politik. Bunyi hadis tersebut adalah:
عَنِ
الزُّهْرِيَّ، عَنْ سَعِيْدِ، عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُشَدُّ الرَّحَالُ إِلاَّ
إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الآَقْصَى.
“Dari
Abu Hurairah diriwayatkan dari az-Zuhri, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah
diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid: masjid al-Haram, masjid Nabawi
dan masjid al- Aqsha”.
Katanya, Abdullah ibn Zubair yang sedang
berkuasa di Mekkah akan mengambil kesempatan untuk membaiat orang-orang Syam
yang pergi Haji agar setia kepadanya. Oleh karena itu, Abdul Malik bin Marwan
berusaha agar orang-orang Syam tidak pergi haji ke Mekkah tapi cukup di Qubbah
al-Shakhra’ di al-Quds (Palestina). Untuk itu ia menugaskan al-Zuhri untuk
membuat hadis yang sanadnya bersambung kepada Nabi.[73]
Tuduhan Ignaz Goldziher tentang
pemalsuan al-Zuhri tehadap hadis di atas dibantah oleh Azami. Menurutnya, tidak
ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi
hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri dan kelahiran
al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H. Dan
58 H., dan ia tidak pernah bertemu dengan ’Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun
81 H. Di sisi lain, pada tahun 68 H., orang-orang Dinasti Umayah berada di
Mekah menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di
bawah kekuasaan Bani Umayah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah
al-Sakhrah dimulai tahun 69 H. (saat itu alZuhri berumur antara 10 sampai 18
tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu, tidak mungkin ’Abd Malik ibn
Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekah ke Palestina dan
tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18
tahun.[74]
b. Kritik Wensinck
Wensink menyatakan bahwa perkembangan
dan aktifitas pemikiran di kalangan umat Islam pasca wafatnya nabi membuka
peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama Islam itu melalui hadis.
Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai matan.[75]
Misalnya, hadis tentang aqidah dan syariah yaitu, hadis yang diriwayatkan dari
Ibn ’Umar bahwa Rasulullah bersabda:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بُنِيَّ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَالحَجْ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibn ‘Umar ra. Berkata
Rasulullah SAW. telah bersabda: “Islam ditegakkan atas lima dasar, syahadat
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya,
mendirikan salat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa pada bulan
Ramadan”
Menurutnya, bukti hadis tersebut dibuat
oleh para Sahabat sesudah Nabi wafat adalah sebagai berikut: ”Nabi tidak pernah
mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru
memeluk Islam. Ketika
orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka
mengetahui bahwa orang-orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka
merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun
mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua hadis tersebut”.[76]
Tuduhan Wensinck terhadap hadis tersebut
menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensinck tahu persis bahwa dua
kalimat syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjamaah oleh umat
Islam semenjak masa nabi di samping shalat-shalat sunnah, dan kalimat tersebut
termasuk dalam adzan yang dikumandangkan sejak masa nabi.[77]
Selanjutnya,
untuk
mengetahui otentitas hadis, menurut Azami seseorang harus melakukan kritik
hadis baik itu menyangkut sanad hadis maupun matannya. Adapun rumusan
metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadis nabi diantaranya:[78]
pertama, memperbandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang guru. Kedua,
memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang
berbeda. Ketiga, memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen
tertulis. Keempat, memperbandingkan
hadis-hadis dengan Ayat al-Qur’an yang berkaitan.
D. Metode yang ditawarkan Azami dalam Buku
ini
Setelah
mengidentifikasi buku Muhamamd Mustafa Azami yang berjudul Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, penulis dapat menyimpulkan bahwa M M. Azami merupakan
ilmuwan hadits yang memadukan metodologi barat (historis-filologis) dan
metodologi kritik hadis (sanad dan matan) yang dikembangkan oleh ulama di masa
lampau yang sudah mapan. Walau beliau pernah mengenyam pendidikan di Barat,
namun ia tetaplah hanif, pemikirannya tidak liberal sebagaimana sarjana muslim
lainnya ketika selesai menempuh studi di Barat. Buktinya bisa
dilihar pada akhir buku Azami, dia melampirkan beberapa manuskrip-manuskrip
hadis yang ditulis pada abad pertama hijriyah.
E. Apresiasi dan Kritik Penulis
Secara umum,
menurut penulis buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya ini sangat
sistematis dan komperhensif, Azami mampu membantah teori-teori para orientalis
tentang hadis dengan pembuktian yang ditunjang oleh dasar-dasar ilmiah yang
objektif dan jauh dari sifat polematis. Oleh karena itu, buku ini bernilai
monumental dan menyakinkan. Selain orientalis, Azami juga mampu membantah
pendapat-pendapat para munkir sunnah. Berikut ini adalah kelebihan dan
kekurangan yang ada dalam buku Azami yang dapat penulis rangkum.
1. Kelebihan
a) Azami menguraikan
secara rinci dan rapi pada setiap bahasan buku ini, dan juga memaparkan bab
tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa
Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah.
b) Penelitian Azami menggunakan kaidah dan disiplin ilmu yang digunakan para orientalis yaitu historis-filologis,
akan tetapi kesimpulan yang dihasilkan berbeda dengan kesimpulan para
orientalis. Dari sinilah para orientalis bisa menerima dan mengakui
sanggahan Azami
c) Azami memperkuat argumen yang ia sampaikan dengan manuskrip asli
yaitu naskah Ibnu Suhail, yang berisi sekitar 40 hadits, Azami telah meneliti
sanadnya dan menghasilkan kesimpulan yang bisa membantah teori-teori dari para orientalis.
d) Pemilihan diksi dalam
penulisan buku itu sangat bagus dan hal tersebut mempermudah pembaca dalam
memahami isi buku tersebut.
2. Kekurangan
a)
Menurut penulis, kekurangan buku ini tidak terlalu
dominan, karena tertutupi oleh kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari buku M. M Azami yang
berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya ini, dapat disimpulkan
bahwa ia dapat membantah teori-teori yang dikemukakan oleh para orientalis tentang
hadis. Adapun teori – teori yang dimaksud adalah Projecting Back, Common
Link, E Silentio dan teori isnad keluarga. Dia membuktikan
bahwa hadis sudah ada pada abad I Hijriyah dengan memperkuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Makna sunnah.
Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi saw jauh
berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis.
Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi
tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan menghindari tradisi
kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi tidak berkisar
pada permasalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.
2. Penulisan hadis.
Menurut Azami kebanyakan hadis sudah didokumentasikan secara tertulis sejak
masa hidup para sahabat. Selain itu, ia juga membuat daftar
lima puluh sahabat, empat puluh delapan tabi’in pada abad pertama hijriah,
delapan puluh enam pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, yang menurutnya
terlibat dalam kegiatan tulis menulis.
3. Periwayatan hadis.
Menurut Azami metode dalam mengajarkan hadis dikelompokkan menjadi empat macam,
yaitu: pertama, mengajarkan hadis secara lisan, kedua, membacakan
hadis dari suatu kitab, ketiga, metode soal-jawab, dan keempat,
metode imla’.
4. Membantah argumen-argumen para
pengingkar sunnah.
Selain itu, hal yang
memperkuat argumen-argumen Azami dalam bukunya ini adalah adanya
manuskrip-manuskrip yang ditulis sejak abad I Hijriyah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amin,
Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta:
Hikmah, 2009.
Azami,
M. Mustafa. On Schacht’s Origins of
Muhammadan Jurisprudence, terj. Asrofi Shodri dengan judul Menguji
Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan
Jurisprudence Joseph Schacht, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
_______________. Studies In
Early Hadith Literature atau Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinihi, terj. Ali Mustafa Yakub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah
kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
_______________. Studies
in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis:
American Trust Publications, 1977), hlm. 52 (e-book di unduh dari www.scribd.com
Imam
al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir,
terj. Syarif Hade Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran
Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana, 2011.
Masrur, Ali. Teori Common Link
G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi,
Yogyakarta: LkiS, 2007.
Saifuddin,
Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Schacht, Joseph. The Origins of
Muhammadan Jurisprudence,
Oxford: Clarendon Press, 1950.
Smeer,
Zeid B. Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis dalam Memahami
Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014.
Sumbulah,
Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Sya’roni,
Usman. Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
Thahhan,
Mahmud. Intisari Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Ya’qub,
Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadis, Cet; IV, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Kamus
Yusuf
Muhammad Baqaa’i, Qamus al-Thullab: ‘Arabiy-‘arabiy, Maghrib: Dar
al-Ma’rifah, t.t.
Jurnal
Ahmad
Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustofa Azami,” Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 3, 1 (2014).
____________,
“Pemikiran Goldziher dan Azami tentang Penulisan Hadis,” Kalam: Jurnal Studi
Islam dan Pemikiran Islam – Vol. 6, 2 (2012).
Idri,
“Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya
terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011).
Umaiyatus
Syarifah “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter
atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014).
Sumber Lain
Juliana Sari, “Teori Projecting Back (Telaah atas
Pemikiran Joseph Schacht)”, www.academia.edu
(diakses tanggal 18
[1] Umaiyatus Syarifah
“Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter atas Kritik
Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014), hlm. 223.
[2] M. Mustafa Azami, Studies
In Early Hadith Literature atau Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinihi, terj. Ali Mustafa Yakub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah
kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 700.
[3] Ahmad Isnaeni,
“Historisitas Hadis Menurut M. Mustofa Azami,” Journal of Qur’an and Hadith Studies
– Vol. 3, 1 (2014), hlm. 122.
[4] Umaiyatus Syarifah
“Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter atas Kritik
Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014), hlm. 224.
[5] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 49-50.
[6] Ibid., hlm. 7-9.
[7] Ibid., hlm. 9-10.
[8] Yusuf Muhammad Baqaa’i, Qamus
al-Thullab: ‘Arabiy-‘arabiy, (Maghrib: Dar al-Ma’rifah, t.t), hlm. 336.
[9] QS. an-Nisa’(4) : 26.
[10] Abdul
Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 5.
[12] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 13.
[15] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 14.
[16] M. M.
Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Asrofi
Shodri dengan judul Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The
Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004), hlm. 35.
[17] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 20.
[18] Ibid.
[19]Ahmad Isnaeni, “Pemikiran
Goldziher dan Azami tentang Penulisan Hadis,” Kalam: Jurnal Studi Islam dan
Pemikiran Islam – Vol. 6, 2 (2012), hlm. 372-373.
[20] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 106.
[21] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 107.
[22] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 108.
[23] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin..., hlm. 101-102.
[24] Ibid., hlm. 103.
[25] Ibid.
[26] Zeid B. Smeer, Studi
Hadis Kontemporer..., hlm. 241.
[27] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 108.
[28] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin..., hlm. 104.
[29] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 109.
[30] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin..., hlm. 104.
[31] Ibid., hlm. 105.
[32] Mahmud Thahhan, Intisari
Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 173.
[33] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 454.
[34] Misalnya seperti yang
ditulis oleh (1) Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), hlm. 175. (2) Usman Sya’roni, Otentitas Hadis
Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.
26. (3) Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir
al-Nadzir, terj. Syarif Hade Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 50.
[36] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 67-68.
[38] Usman Sya’roni, Otentitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),
hlm. 26-27.
[39] Imam al-Nawawi, al-Taqrib
wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, terj. Syarif Hade
Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 52.
[55] Idri, “Perspektif Orientalis
tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan
Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 208.
[56] Joseph Schacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm.
163.
[59] Joseph Schacht, The
Origins of..., hlm. 165.
[60] Juliana
Sari, “Teori Projecting Back (Telaah atas Pemikiran Joseph Schacht)”, www.academia.edu (diakses tanggal 18
Desember 2016)
[61] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi,
(Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 3.
[62] Ibid., hlm. 59.
[64] Joseph Schacht, The
Origins of..., hlm. 140.
[65] Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah,
2009), hlm. 180.
[66] Ibid.
[67] Ibid., hlm.
180-181.
[68] Ibid., hlm. 181.
[69] Ali Masrur, Teori
Common Link..., hlm. 37.
[71] Idri, “Perspektif
Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap
Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 211.
[72] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 608.
[73] Zeid B. Smeer, Studi
Hadis Kontemporer..., hlm. 243.
[74] M. Mustafa Azami, Studies
In Early..., hlm. 609-610.
[75] Idri, “Perspektif
Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap
Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 212.
[78] M. Mustafa. Azami, Studies in
Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust
Publications, 1977), hlm. 52 (e-book di unduh dari www.scribd.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar