Jumat, 15 September 2017

Muhammad Azami : belajar hadis



A.    Biografi M. Mustafa Azami
Nama lengkapnya adalah Muhammad Mustafa Azami, lebih dikenal dengan nama Azami. Azami adalah nisbah dari kota kelahirannya yaitu Azamgarh, Azami dilahirkan di kota Mau Nath Bhanjan, Azamgarh Uttar Pradesh India pada tahun 1932 dari pasangan Abd al Rahman dan Ayesha. Azami berasal dari keluarga yang sangat sederhana yang cinta ilmu, walaupun sejak berumur dua tahun Azami telah ditinggal ibunya, tetapi hal itu tidak mengurangi proses pertumbuhannya.[1]
Ayah Azami adalah pencinta ilmu dan membenci penjajahan serta bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan Bahasa Arab. Dari sinilah Azami mulai belajar Hadis.[2]
Setelah selesai melalui pendidikan tingkat menengah, Azami meneruskan pendidikan tingkat perguruan tinggi di India, lalu melanjutkan ke universitas al-Azhar dan ke Cambirdge Inggris. Secara sederhana, perjalanan intelektual Azami dapat dibagi kepada dua fase yang cukup berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola pikir Azami dalam kajian hadis. Fase pertama (1952-1964) pada periode ini, Azami mengalami transformasi pemikiran dari College of Science di Deoband dan Universitas al-Azhar Kairo. Fase II (1964-1966) bersentuhan langsung dengan pemikiran orientalis di Cambridge Inggris.[3]
Kemudian, pada tahun 1968, Azami pindah ke Makkah  untuk mengajar di Universitas Ummul Qura pada fakultas syariah, dan menjadi associate Professor. Pada tahun 1973, Azami pindah ke Riyadh untuk mengajar di Pasca Sarjana Jurusan Studi Islam Universitas Riyadh (King Saud University). Azami mencapai puncak karirnya dengan mendapatkan penghargaan International Raja Faisal untuk Studi Islam dan memenangkan Award King Khalid. Beberapa tahun kemudian, ia pindah ke Amerika untuk mengajar di Universitas Denfer Colorado sebagai dosen tamu. Selain itu, Azami pernah diangkat sebagai cendekiawan tamu pada Universitas Michigan (Ann Arbor),  St. Cross College (Universitas Oxford), Universitas Princeton bidang Studi Islam, dan Universitas Colorado (Boulder), dan Professor kehormatan pada Universitas Wales (lampeter). Di Riyadh, Azami salah satu tokoh pertama yang menggagas komputerisasi hadits.[4]
B.     Latar Belakang M. Mustafa Azami Menulis Buku Ini
Di bagian pendahuluan Muhammad Mustafa Azami menjelaskan kegelisahan akademik atau latar belakang ia menulis buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Dari penjelasan tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa kegelisahan akademik Muhammad Mustafa Azami antara lain:
1.      Banyaknya orientalis yang sudah melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi dan hasil penelitian yang mereka lakukan itu berbeda dengan kebenaran yang ada tentang Hadis Nabi itu sendiri. Selain itu, perbedaan-perbedaan yang ada seputar Hadis Nabi ini menimbulkan dampak negatif terhadap otentisitas Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-qur’an.
2.      Munculnya para pengingkar sunnah di India akibat dari pengaruh kolonialis Barat. Mereka tidak mengakui bahwa hadis itu dapat dijadikan sumber hukum. Bahkan menurut Ghulam Ahmad Parwez, salah satu tokoh ingkar sunnah yang memiliki kegiatan menonjol misalnya, mendirikan kelompok yang bernama “Ahlul Qur’an” mengatakan bahwa ia tidak hanya menolak hadis ahad saja tetapi juga menolak hadis mutawatir, seperti hadis tentang jumlah shalat lima waktu, jumlah rakaat, tata cara shalat dan sebagainya. Ia berpendapat bahwa al-qur’an hanya berisi perintah untuk mengerjakan shalat saja. Tentang tata caranya, hal itu diserahkan kepada kepala negara bagaimana ia mengaturnya dengan mempertimbangkan situasi dan tempat.[5]
C.    Sistematika Isi Buku
            Buku Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami yang berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya ini terdiri dari delapan bab pembahasan dan delapan macam lampiran yang menjadi penguat data yang sudah disebutkan pada pembahasan. Adapun isi atau pembahasan pada masing-masing bab antara lain:[6]
Bab I
Membahas tentang pengertian dan kedudukan Hadis Nabawi dalam Islam, kehidupan Muslim, baik di dunia maupun akhirat, dimana hal itu tidak dapat terlepas dari Hadis Nabawi.
Bab II
Membahas tentang kegiatan pendidikan di jazirah Arab pada masa Jahiliyah dan permulaan Islam.
Bab III
Membahas sekitar larangan dan izin penulisan Hadis dari Nabi SAW. Di sini dijelaskan pula bahwa larangan itu hanya berlaku apabila penulisan Hadis itu dilakukan bersamaan dengan penlisan al-Qur’an. Atau, bahwa Hadis yang melarang penulisan Hadis itu sudah dihapus masa berlakunya (mansukh). 
Bab IV
Membahas tentang tulisan-tulisan Hadis yang dilakukan oleh para Sahabat. Begitu pula tulisan-tulisan para Tabi’in tentang Hadis-hadis yang berasal dari para sahabat, tulisan-tulisan para Tabi’in sendiri, serta tulisan-tulisan para Tabi’ut-Tabi’in (generasi sesudah Tabi’in) tentang Hadis-hadis yang mereka terima dari Tabi’in.
Untuk generasi Tabi’ut-Tabi’in, mereka yang lahir setelah tahun 110 hijriyah tidak disebutkan di sini, meskipun ahli-ahli Hadis menulis Hdis-hadis yang berasal dari mereka. Sebab tujuan penulisan Bab ini adalah untuk mengetahui cara penyebaran Hadis pada saat itu sampai kira-kira munculnya kitab al-Muwatta’ karangan Imam Malik. Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian bab ini adalah pembuktian adanya ribuan kitab yang beredar pada masa Tabi’ut-Tabi’in.
Bab V
Membahas cara penyebaran Hadis, atau cara belajar dan mengajarkan Hadis (tahammul al-‘ilm) secara umum. Serta menjelaskan metode yang dipakai dalam mempelajari Hadis pada saat itu. Bab ini juga memberikan gambaran tentang sejauh mana perhatian kaum Muslimin dapat berkhidmah terhadap Hadis Nabawi di satu segi, dan menyebarkan buku-buku di segi lain.
Bab VI
Membahas kitab-kitab Hadis ditinjau dari segi bentuk dan alat tulisannya. Juga membahas tentang adanya pencurian Hadis, atau tambahan tulisan yang dilakukan oleh orang lain, bukan pengarangnya, serta masalah-masalah lain yang masih berkaitan.
Bab VII
Khusus membahas permasalahan sanad Hadis, dan kesalahan pahaman sementara orang tentang hal itu. Begitu pula tentang menilai sistem sanad dari segi ilmiahnya, serta pembuktian bahwa sanad Hadis sudah ada sejak masa Nabi SAW.
Bab VIII
Membahas tentang sejauh mana Hadis nabawi itu dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
Sedangkan lampiran-lampiran dalam buku ini antara lain:[7]
Lampiran I

Membahas pengertian sejumlah istilah yang sering dipakai dikalangan ahli-ahli Hadis, seperti sami’tu (saya mendengar), hadatsana (kami di beritahu hadis ini oleh…), ‘akhbarana (kami diberi kabar oleh….), ‘an (dari), dan lain-lain. Sebab istilah-istilah yang terdapat dalam sanad Hadis ini sering menimbulkan kesalahpahaman sementara peneliti, di mana mereka menganggap bahwa Hadis itu disebarkan secara lisan. Dan ternyata istilah-istilah itu dipakai untuk imla’ dan bacaan, baik berdasarkan hafalan maupun kitab.
Lampiran II

Tentang jawaban terhadap sementara orang yang kebingungan menghadapi jumlah Hadis yang mencapai tujuh ratus ribu buah. Di mana hal itu telah mendorong para orientalis untuk membantah otentisitas Hadis Nabawi, karena jumlah itu tidak masuk akal. Begitu pula jawaban terhadap sementara orang yang menuduh bahwa ahli-ahli Hadis telah memalsukam Hadis Nabawi. Sebab menurut mereka, dari setiap dua ratus Hadis sulit ditemukan satu Hadis yang shahih. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa Hadis itu berasal dari Nabi SAW sulit diterima.
Dalam lampiran ini juga dijelaskan bahwa cara berpikir mereka hanyalah berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap metode ahli-ahli Hadis. 
Lampiran III

Cuplikan dari Naskah al-Zubair bin ‘Adiy yang tidak otentik (palsu).
Lampiran IV

Cuplikan dari kitab al-Maghazi karangan Ibnu Ishaq, yang sama dengan kitab Sirah Ibn Hisyam yang sudah dicetak.
Lampiran V
Lembaran 42 dari manuskrip kitab Shahih Ibn Khuzaimah.
Lampiran VI

Halaman pertama dari Naskah Hadis-hadis Abu al-Yaman al-Hakam bin Nafi’. 
Lampiran VII

Halaman pertama dari Naskah Hadis-hadis Abu ‘Ubaidullah ‘Umar.
Lampiran VIII

Membahas beberapa manuskrip yang di seleksikan dari lebih sepuluh manuskrip, di mana para penulisnya hidup kira-kira sejak akhir abad kedua hijriyah. Meskipun semua manuskrip itu dapat ditahqiq (critical edition), namun yang dilakukan di sini hanya satu saja. Hal itu agar hasil ‘critical edition’ itu lebih baik. Dan sebuah manuskrip yang ditahqiq itu adalah Naskah Suhail bin Abu Shalih, yang berisi Hadis dari ayahnya, dari Abu Hurairah
Adapun fokus kajian dalam makalah ini adalah:
  1. Pengertian Sunnah di kalangan Muslim dan Orientalis
  2. Penulisan hadis menurut kaum Muslim dan Oreintalis.
  3. Penyebaran Hadis
  4. Pemakaian Isnad
  5. Otentitas Hadis     
1.      Pengertian Sunnah di kalangan Muslim dan Orientalis
            Secara etimologi, Sunnah berarti syariah, tabiat, perilaku, dan tata cara atau jalan.[8] Allah SWT berfirman dalam al-qur’an sebagai berikut:[9]
يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمۡ وَيَهۡدِيَكُمۡ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
Allah hendak menerangkan (hukum syari´at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin). (QS. an-Nisa’: 26)
            Kata “sunan” dalam ayat tersebut berbentuk jamak. Menurut Ibnu Katsir, kata tersebut berarti “tata cara orang-orang dahulu yang terpuji dan mengikuti syariat Allah yang mendapat ridha daripada-Nya.[10] Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:[11]
مَنْ سَنَّ سُنّةً حَسَنةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِها اِلَى يَوْم الْقِيامَةِ، و مَنْ سَنَّ سُنّةً سَيِّئَةً فَعَليْهِ وِزْرُهاَ وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِها اِلَى يَوْم الْقِيامَةِ. – متفق عليه -
Barangsiapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari Kiamat. Dan barangsiapa memelopori mengerjakan suatu perbuatan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
            Al-Tahanuwi juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi berarti tata cara, baik maupun buruk.[12]
            Adapun pengertian sunnah secara epistimologi atau istilah antara lain:
1.      Menurut ahli hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat baik, sifat fisik atau perangai (akhlak), dan/atau sejarah, baik sebelum diangkat menjadi Rasul seperti menyendiri beribadah dalam Gua Hira atau setelahnya.[13]
2.      Menurut ulama Ushul Fiqh, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum.[14]
3.      Menurut ulama Fiqih, sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[15]
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara etimologi Sunnah berarti tata cara atau jalan yang digunakan orang dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Sedangkan pengertian Sunnah menurut epistimologi atau istilah, ulama memilki perbedaan pendapat. Hal demikian terjadi karena latar belakang keilmuan yang mereka miliki. Pada intinya sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW.
Sedangkan pengertian Sunnah di kalangan orientalis antara lain:
1.      Menurut Schacht, konsep awal Sunnah adalah “tradisi yang hidup” dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau “praktek yang disepakati secara umum” (‘amal, al-amr al-mujtama’ ‘alaih). Konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabi.[16]
2.      Goldziher menjelaskan bahwa kata “Sunnah” itu semula adalah istilah animis kemudian dipakai oleh orang-orang Islam.[17]
3.      Menurut Margoliouth, pengertian sunnah sebagai sumber hukum pada mulanya adalah masalah yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa-masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi SAW saja.[18]  
Dari beberapa kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian sunnah yang dikemukakan oleh para orientalis sangat bertentangan dengan pengertian sunnah secara etimologi maupun epistmologi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu Azami memberikan sanggahan terhadap para orientalis tersebut.
Menurut Azami, kata sunnah memang berasal dari bahasa Arab dan telah dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut diartikan secara bahasa sebagai tata cara, perilaku hidup, syariah, dan jalan hidup, terpuji atau tercela. Kata sunnah ini dapat ditemukan di berbagai syair Arab pra-Islam maupun sesudah masa Islam. Goldziher dan Schacht dipandang oleh Azami terjebak dalam memahami makna sunnah sebagai masalah yang ideal dan norma yang disepakati masyarakat. Jadi sunnah Nabi saw lepas dari aturan dan tradisi orang-orang pra-Islam. Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi saw jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi tidak berkisar pada permasalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.[19]
2.      Penulisan Hadis menurut kaum Muslim dan Oreintalis.
Pada bagian ini penulis akan memaparkan pandangan ulama dan sarjana Muslim serta Orientalis seputar penulisan hadis Nabi. Pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan) sampai akhir abad pertama hijriyah.[20] Akan, tetapi, sejumlah data sejarah menunjukkan bahwa pada periode Nabi SAW telah ditulis beberapa dokumen hadis baik yang bersifat resmi maupun tidak resmi namun belum bersifat publik.[21]
Menurut Azami, masalah pokok yang menyebabkan para ahli berpendapat bahwa pembukuan hadis terlambat sampai seratus tahun atau lebih adalah karena mereka hanya mengikuti pendapat yang populer di kalangan mereka, tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadis sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[22]
Misalnya, Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy (w. 852) menyatakan bahwa hadis belum disusun dan dibukukan selama periode sahabat dan tabiin senior karena didasarkan pada dua argumen berikut: pertama, pada mulanya mereka memang dilarang untuk menuliskan hadis seperti yang disebutkan dalam Shahih Muslim karena dikhawatirkan akan mendistorsi al-Qur’an; kedua, mereka mempunyai hafalan yang kuat dan otak yang cerdas, disamping juga mayoritasnya memang tidak mampu menulis. Argumen Ibnu Hajar ini kemudian diperkokoh oleh al-Suyuthiy (w. 911 H), yang juga mengakui bahwa hadis belum disusun dan dibukukan sepanjang periode sahabat dan tabiin karena dua alasan itu.[23] Selain itu terdapat ulama-ulama kontemporer yang sependapat dengan Ibnu Hajar dan al-Suyuthiy seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, Rasyid Ridla dan Taufiq Shidqiy.[24]
Kemudian, sejumlah orientalis juga memiliki pandangan yang senada. Muir misalnya berpendapat bahwa hadis belum dicatat sepanjang abad I H dan khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan orang yang pertama kali memerintahkan agar hadis ditulis secara resmi. Orientalis lain yang sependapat dengan Muir adalah Sprenger dan Juynboll. Sedangkan menurut Goldziher, hadis baru ditulis dan dihimpun pada era yang lebih belakangan lagi.[25] Bahkan ia mengatakan bahwa para sahabat dan tabiin berperan dalam pemalsuan hadis.[26]
 Adapun menurut Schacht, sangat sulit sekali menganggap bahwa hadis-hadis yang ada kaitannya dengan fiqih itu ada yang shahih. Sebab hadis-hadis itu dibikin untuk diedarkan di kalangan masyarakat sejak paruh pertama dari abad kedua sampai seterusnya.[27] Dari pandangan Schacht ini dapatlah diketahui bahwa pencatatan hadis yang dilakukan semasa khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah palsu. Sebab menurutnya hadis-hadis hukum itu baru muncul pasca era Umar bin Abdul Aziz. Demikian pula, Guillaume menilai tidak asli beberapa kumpulan hadis yang ditulis pada masa yang lebih awal dari pertangahan atau akhir abad II H.[28]
Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang penulisan hadis Nabi SAW. ada yang berpendapat bahwa hadis itu sudah ditulis dan dibukukan pada akhir abad pertama hijriyah dan ada pula yang berpendapat sebaliknya, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dan al-Suyuthiy serta beberapa ulama kontomporer. Selain itu juga, pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para orientalis sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, Azami melakukan sanggahan terhadap pendapat-pendapat mereka. Untuk pendapat Ibnu Hajar, Azami menjelaskan bahwa penguasaan tulis menulis di kalangan Sahabat dan Tabiin Tua tidak seminim yang digambarkan oleh para penulis pada umumnya. Apabila kita menolak fakta ini, maka bagaimana al-qur’an itu dapat ditulis? Apakah para sahabat tidak menulis al-qur‘an satu persatu? Lalu apa pula maksud hadis ”jangan kalian tulis yang kuucapkan, selain al-qur’an”? sebab seandainya para sahabat tidak dapat menulis tentu tidak perlu ada lagi larangan tersebut. Banyaknya jumlah sekretaris-sekretaris Nabi dan adanya sistem administrasi dalam negara besar pada masa Khulafa Rasyidin tak pelak menuntut adanya penulis-penulis yang cakap dalam ilmu hitung dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa pada masa itu para sahabat banyak yang pandai menulis dan membaca.[29]
Kemudian, sanggahan Azami selanjutnya terkait dengan pendapat para orientalis yaitu setelah ia melakukan penelitian serius terhadap berbagai dokumen tertulis hadis dari masa awal Islam berketetapan bahwa hadis telah mulai ditulis oleh para sahabat sejak periode Nabi SAW. dan pada kesempatan tertentu beliau telah mendiktekan hadisnya kepada para sahabat. Iapun mengajukan sejumlah nama sahabat yang terlibat aktif dalam penulisan hadis dan berdasarkan fakta yang ada iapun berkesimpulan bahwa kebanyakan hadis sudah didokumentasikan secara tertulis sejak masa hidup para sahabat.[30]  Di dalam bukunya, Azami juga membuat daftar lima puluh sahabat, empat puluh delapan tabi’in pada abad pertama hijriah, delapan puluh enam pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, yang menurutnya terlibat dalam kegiatan tulis menulis.
Hasil penelitian Azami ini juga senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Imtiyaz Ahmad dan Muhammad Ajjaj al-Khathib. Dalam penelitian Imtiyaz Ahmad yang cukup cermat terhadap dokumen-dokumen awal hadis berkesimpulan bahwa hadis mulai dituliskan pada periode Nabi SAW. Dan dalam penelitian Muhammad Ajjaj al-Khathib yang mengangkat tema seputar perkembangan sunnah pada masa sebelum dilakukan tadwin secara resmi dan publik, berkesimpulan bahwa hadis telah mulai dicatat dan dihimpun pada periode Nabi SAW.[31]
3.      Penyebaran Hadis (Tahammul al-Hadis)
Kaifiyah Tahammul al-Hadis (tata cara menerima hadis) adalah penjelasan tentang sistem pengambilan dan penerimaan hadis dari guru-gurunya.[32] Pada sub ini penulis akan memaparkan metode-metode yang digunakan dalam penerimaan hadis atau dalam mengajarkan hadis.
Menurut Azami metode dalam mengajarkan hadis dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu: pertama, mengajarkan hadis secara lisan, kedua, membacakan hadis dari suatu kitab, ketiga, metode soal-jawab, dan keempat, metode imla’.[33]  Akan tetapi dari beberapa sumber lain[34] dijelaskan bahwa metode penerimaan riwayat hadis dikelompokkan menjadi delapan macam, anatara lain:
1.      Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh
2.      Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh
3.      Al-Ijazah (izin)
4.      Al-Munawalah (pemberian)
5.      Al-Kitabah
6.      Al-I’lam (pemberitahuan)
7.      Al-Washiyah (pesan)
8.      Al-Wijadah (penemuan)
Penulis akan memaparkan penjelasan ringkas dari kedelapan metode penerimaan hadis tersebut, karena menurut kami metode-metode tersebut lebih lengkap daripada metode-metode yang disebutkan oleh Azami. Walaupun ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menggunakan beberapa metode tersebut.
1.      Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh
Ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis yang dibaca guru hadis, baik yang dibaca itu berdasar hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh penerimanya.[35] Metode penyampaian hadis ini menurut Jumhur ulama menempati tingkat akurasi tinggi. Hal ini karena di masa Rasulullah, cara ini pulalah yang banyak digunakan dalam periwayatan hadis. Pada masa Rasulullah, seringkali para sahabat mendengarkan apa yang didiktekan oleh Nabi dalam halaqah ilmiah bersama beliau. Dengan cara ini pulalah maka katerpeliharaan hadits dari kekeliruan dan kealpaan bisa diminimalisir. Cara ini juga dinilai sebagai teknik transformasi yang paling valid, karena dianggap mendekati kebenaran. Alasannya adalah setelah para sahabat selesai mendengarkan penjelasana Nabi tentang suatu persoalan, mereka sering melakukan konfirmasi dengan cara mencocokkan antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain.[36]
Terdapat dua model pelaksanaan dalam metode ini yakni model pendiktean guru kepada muridnya berdasarkan hafalannya di satu sisi dan model pendiktean berdasarkan tulisannya. Para ulama tidak memperselisihkan bobot akurasi periwayatan hadis dengan dua model tersebut. Justru jumhur ulama cenderung mempersamakannya, hingga kemudian mereka mengklaim bahwa periwayatan hadis dengan metode inilah yang memiliki bobot akurasi tertinggi di antara metode-metode lainnya.[37]
Menurut al-Qadli ‘Iyadh, redaksi penyampaiannya dapat menggunakan lafazh سمعت، قال لي، ذكر لنا، أخبرنا، أنبأنا، حدثنا. Sedangkan menurut al-Khathib al-Baghdadi, redaksi yang paling akurat adalah: سمعت، حدثنا، حدثني، أخبرنا.[38]
2.      Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh
Mayoritas ahli hadis menyebut metode ini dengan sebutan ‘ardl (sorogan). Dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan hadisnya pada seorang guru. Atau orang lain yang membacakannya dan kita mendengarkannya dengan baik. Dan hadis yang dibacanya itu bisa berasal dari sebuah kiab atau merupakan hafalannya.[39]
Terdapat tiga perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tingkat akurasi metode ini, yaitu:[40]
a.       Pertama, bahwasannya membacakan hadis kepada guru yang demikian ini lebih tinggi bobot akurasinya dibandingkan dengan mendengarkan bacaan dari guru. Demikian menurut pendapat dari Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi’b dan lain-lain. Namun sayangnya mereka tidak mengemukakan argumentasinya secara tegas. Agaknya, alasan pendapat tersebut adalah karena membacakan hadis kepada guru itu lebih merupakan atau lebih merujuk kepada adanya aktivitas murid, meskipun dalam satu dan beberapa hal guru akan mengoreksinya jika memang dalam bacaan murid tersebut terdapat kekeliruan.
b.      Kedua, pendapat yang cenderung mensyaratkan bobot akurasi metode al-qira’ah ini dengan metode al-sima’. Kelompok ini diwakili oleh ulama Hijaz, ulama Kufah, Imam Malik dan sahabat-sahabat serta guru-gurunya dari ulama Madinah, al-Bukhari dan lain-lain.
c.       Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa metode al-sima’ lebih tinggi bobot akurasinya dibandingkan dengan al-qira’ah, sehingga kemudian mereka memposisikan metode al-qira’ah ini pada peringkat kedua setelah al-sima’. Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Umumnya redaksi yang digunakan dalam metode ini ialah قرأت على فلان او قرئ عليه او أنا أسمع فأقرأ به. Atau bisa menggunakan redaksi yang digunakan pada metode al-Sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah, misalnya حدثنا قراءة عليه. Akan tetapi, redaksi yang sering dipakai oleh sebagian besar ulama hadis hanya kata أخبرنا.[41]
3.      Al-Ijazah (izin)
Periwayatan hadis melalui metode ini caranya adalah dengan memberikan izin kepada muridnya, baik secara lafzhi maupun kitab, seperti pernyataan seorang guru أجزت لك أن تروى عن صحيح البخارى (saya mengizinkan kepada anda untuk meriwayatkan dariku hadis-hadis dalam kitab Shahih al-Bukhari)[42].
Metode Al-Ijazah ini terbagi menjadi tujuh macam. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan satu macam saja yaitu seorang guru memberikan ijazah hadis tertentu kepada orang tertentu, seperti: أجزتك صحيح البخارى. Karena bentuk yang penulis sebutkan ini adalah jenis ijazah yang paling tinggi kualitasnya.
  1. Al-Munawalah (pemberian)
Ada dua macam bentuk periwayatan hadis melalui metode Al-Munawalah. Pertama, Munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang syaikh memberikan kitab kepada muridnya seraya berkata kepadanya “ini adalah riwayatku dari Fulan maka riwayatkanlah ia dariku” kemudian mengabadikan kitab tersebut untuk dimilikinya atau sebagai pinjaman agar disalinnya. Kedua, Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Caranya adalah seorang syaikh menerahkan kitabnya kepada murinya dengan hanya menyatakan secara ringkas ini adalah riwayat yang aku dengar.[43]
Redaksi yang digunaka pada metode ini adalahناولنى أو ناولنى و اجازلى . Atau boleh juga memakai redaksi al-sama’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah, seperti:حدثنا مناولة أو أخبرنا مناولة وإجازة .[44]
  1. Al-Kitabah
Dalam metode ini, seorang guru menuliskan hadis yang diterimanya untuk pada muridnya yang hadir dan yang tidak hadir, baik hadisnya itu ia tulis sendiri atau merupakan tulisan orang lain yang diperintahnya. Metode ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu kitabah yang tidak disertai dengan ijazah dan kitabah yang disertai dengan ijazah.[45]
Redaksi yang digunakan dalam metode ini adalah كتب إلي فلان, atau memakai redaksi al-sama’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan lafal kitabah seperti حدثنى فلان أو أخبرنى كتابة. [46]
  1. Al-I’lam (pemberitahuan)
Dalam metode ini, seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis atau kitab yang ada padanya itu adalah hadis yang diterimanya dari gurunya dan ia tidak mengizinkan hadisnya itu diriwayatkan, karena ia hanya memberitahukan hadis itu pada muridnya.[47] Redaksi periwayatannya biasanya menggunakan lafazh اعلمنى الشيخ بكذا.[48]
  1. Al-Washiyah (pesan)
Dalam metode ini, seorang guru memberikan wasiat suatu kitab yang diriwayatkannya pada muridnya, ketika guru tersebut sudah mendekati ajalnya atau ia akan berpergian jauh. Sekelompok ulama kalangan salaf membolehkan metode ini bagi seseorang yang memang diwasiati gurunya untuk meriwayatkan hadis gurunya itu. Ini pendapat yang tidak tepat. Karena pendapat yang tepat menyatakan bahwa periwayatan seperti ini tidak dibenarkan.[49]   
  1. Al-Wijadah (penemuan)
Artinya, seorang murid menemukan beberapa hadis catatan seorang guru hadis yang dikenalnya dan tidak diperoleh dengan cara mendengar atau ijazah.[50] Meriwayatkan hadis melalui ini dihukumi munqathi’ oleh para ulama. Redaksi yang digunakan biasanya lafazh وجدت بخط فلان atau قرات يخط فلان, kemudian ia mengungkapkan sanadnya dan matan hadis tersebut.[51]
Menurut penulis, dari depalan metode yang sudah dijelaskan tersebut metode yang paling sering digunakan dalam periwayatan hadis adalah Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh dan Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh karena menurut mayoritas ulama dua metode ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi daripada metode-metode yang lain, selain itu metode-metode periwayatan yang lain masih diperselisihkan tingkat akurasinya. Misalnya, seorang perawi yang tsiqah, apabila ia memakai sighat al-ada sami’na dimana lambang tersebut mencerminkan metode periwayatan hadis dengan Al-Sama’ min lafzh al-Syaikh, maka secara otomatis para ulama ahli hadis mengakui bobot akurasinya. Sebaliknya, apabila seorang perawi yang tsiqah memakai sighat al-ada yang masih diperselisihkan tingkat akurasinya, maka tidak tertutup kemungkinan adanya cacat yang tersembunyi.[52]
Kemudian, terkait dengan hadis yang menggunakan sighat ‘an atau anna, para ulama menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhinya, sebagaimana disebut Syuhudi Ismail, yakni: pertama, pada sanad hadis yang bersangkutan tidak terdapat tadlis (penyembunyian cacat); kedua, para perawi yang namanya beriring dan diantarai oleh lambang ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan; ketiga, perawi yang menggunakan lambang ‘an atau anna itu adalah perawi yang dinilai tsiqah.[53]     
4.      Pemakaian Isnad
Dalam membahas dan mengevaluasi sistem sanad kita harus sadar bahwa sanad merupakan satu hal yang sangat penting dalam Islam. Ketika kita yakin bahwa satu hadis dapat menghasilkan hukum maka kita harus sadar bahwa hadis tersebut juga bersandar pada sanad yang apabila lemah atau dhaif maka kita tidak bisa menjadikanya sebagai sumber hukum. Ibn Mubarak (wafat: 181H) pernah mengatakan: Sanad adalah bagian dari agama, jika tidak ada sanad setiap orang akan bebas melaporkan apa yang ia inginkan[54].
Dalam melakukan kajian sanad, para orientalis tampaknya lebih benyak menyoroti tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan hadis. Menurut Caetani, ’Urwah (w. 94 H.) adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad. Selanjutnya ia menyatakan bahwa pada masa ’Abd al-Malik (w. antara 70-80 H.), penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimulai pada masa antara ’Urwah dengan Ibn Ishaq (w. 151 H.). Berdasar pada pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriyah. Pendapat ini didukung oleh Alois Sprenger.[55]
Selain itu, orientalis yang mengkritik sanad habis-habisan adalah Joseph Schahct. Dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, ia berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah.[56] Sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan: We shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (Kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).[57] Artinya hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika tidak dipakai sebagai argumen hukum. Hal ini beranjak dari premis dasar, jika suatu hadis tidak dirujuk dalam diskusi hukum maka hadis itu pasti telah dipalsukan pada masa antara dua ulama.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:[58]
a.       Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
b.      Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
c.       Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
d.      Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
e.       Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Selanjutnya dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:
  1. Teori Projecting Back
Projecting Back atau backward projection adalah teori Schacht guna menelusuri asal-usul serta otentisitas hadits didasarkan pada perkembangan sanad yang ada dalam tradisi muhaddisin. Ketika hadits sudah dinyatakan sebagai doktrin yang dipalsukan maka kemungkinan telah dilakukan projecting back. Pada intinya backward projection adalah upaya baik dari aliran fikih klasik maupun dari para ahli hadis untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka pada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabiin, sahabat, dan akhirnya pada Nabi Muhammad SAW. Projecting back adalah isnad-isnad meningkat secara bertahap oleh pemalsuan, isnad yang tidak lengkap sebelumnya dilengkapi pada waktu koleksi-koleksi klasik.[59]
Salah satu contoh projecting back seperti yang dicontohkan oleh Schacht misalnya Malik merujuk kepada instruksi yang diberikan oleh Umar mengenai zakat tanpa isnad, tetapi kemudian instruksi yang diberikan itu dikembangkan dalam Musnad Ibn Hanbal dan dalam koleksi hadis klasik dimana isnadnya menjadi lengkap dan diproyeksikan ke belakang yakni kepada Nabi. [60]
  1. Teori Common Link
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya kembali kepada dua atau lebih dari muridnya. keberadaan common link (tokoh penghubung/common trasmitter) dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa hadits itu berasal dari masa tokoh tersebut. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam bundel isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika bundel isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.[61]
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), maka semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan atau shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara otentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur, sementara yang hanya bercabang satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya kebenarannya (dhaif).
  1. Teori E silentio
E silentio adalah alat pokok yang dipakai Schacht untuk menguji kebenaran hadits Nabi. Teori ini berawal dari asumsi Schacht bahwa cara terbaik untuk membuktikan hadis tidak ada pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan hadis tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum (padahal hadits itu ada).[64] Artinya hadis dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika tidak dipakai sebagai argumen hukum. Hal ini beranjak dari premis dasar, jika suatu hadis tidak dirujuk dalam diskusi hukum maka hadis itu pasti telah dipalsukan pada masa antara dua ulama.
Salah satu contoh e silentio adalah “hadits puasa” sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kamaruddin Amin dalam bukunya Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, selain itu beliau juga langsung memberikan sanggahan terhadap teori tersebut, seperti penjelasan berikut ini.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abd Ar-Razaq dari Ibnu Juraij - ‘Atha’, yang ditemukan dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq - Ibnu Juraij -‘Atha’- Abu Shalih - Abu Hurairah - Nabi. Kalau kita mengikuti premis Juynboll, maka kita pasti menuduh Muslim atau gurunya Muhammad bin Rafi’ telah memalsukan hadits tersebut.[65]
Namun demikian, terdapat sejumlah alasan yang sangat kuat untuk menoak dugaan bahwa Muslim atau gurunya telah membuat-buat hadis tersebut, meskipun tidak terdapat dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq. Pertama, adalah kekeliruan logis menganggap tidak terdapatnya hadis tersebut dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq sebagai bukti yang sangat kuat bahwa ‘Abd Ar-Razaq tidak mengetahui. Ketidaktahuan hanyalah salah satu kemungkinan alasan ketiadaan hadis tersebut dalam Mushannaf. Adalah juga mungkin bahwa ‘Abd Ar-Razaq merujuk hadis tersebut dalam teks yang telah hilang atau termutilasi pada masa Ishaq bin Ibrahim Ad-Dabari, perawi yang kepadanya bagian besar versi Mushannaf merujuk. Dengan kata lain, klaim Muslim telah menerima hadis dari ‘Abd Ar-Razaq dari Muhammad bin Rafi’ tidak dapat ditolak hanya karena argumen e silentio.[66]
Demikian pula, sebuah perbandingan antara riwayat ‘Abd Ar-Razaq yang terdapat dalam Shahih Muslim dengan varian-varian dari perawi lain dari Ibnu Juraij, yaitu riwayat Rauh dan Hisyam yang masing-masing terdapat dalam Musnad Ibnu Hanbal dan Shahih Al-Bukhari, mengungkap bahwa riwayat-riwayat tersebut memiliki ciri-ciri yang khas yang membawa kita untuk menyimpulkan bahwa Ibnu Juraij adalah sumber bersama dari ‘Abd Ar-Razaq, Hisyam dan Rauh. Saling ketergantungan antara teks-teks dapat dinafikan. Dengan kata lain, riwayat yang disandarkan kepada ‘Abd Ar-Razaq dalam Shalih Muslim sangat mungkin diriwayatkan oleh ‘Abd Ar-Razaq, karena riwayat tesebut didukung oleh riwayat-riwayat Rauh dan Hisyam. [67]
Oleh karena itu, tidak ditemukannya hadis tersebut dalam Mushannaf ‘Abd Ar-Razaq bukanlah bukti tidak adanya riwayat tersebut. Berdasarkan contoh ini dan karena sumber-sumber yang tersimpan dari abad kedua dan bahkan abad ketiga hijriyah sangat terpencar-pencar, maka merujuk kepada argumen e silentio adalah berbahaya dan dapat membawa kepada asersi yang tidak berdasar.[68]
  1. Teori Isnad Keluarga
Isnad keluarga adalah segala bentuk periwayatan yang dalam rangkaian sanadnya ada hubungan. Kata keluarga di sini tidak hanya menyangkut hubungan darah tetapi juga hubungan mawali yaitu hubungan budak dengan tuannya.[69] Schacht mengatakan bahwa semua sanad yang berasal dari satu keluarga atau keturunan adalah palsu. Misalnya dari ayah kepada anak laki laki dari bibi ke kemenakan laki laki, atau dari majikan yang dibebaskan, ketika kita analisa hadis-hadis tersebut, kita temukan hadis keluarga ini palsu.[70]
Salah satu contoh isnad keluarga diantaranya adalah Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya, Isa bin Abdullah dari ayahnya, Katsir bin Abdullah dari ayahnya, Musa bin Mathir dari ayahnya, Yahya bin Abdullah dari ayahnya, Nafi’ dari tuannya Ibnu Umar, dan Muhammad bin Sirin dari tuannya Anas bin Malik.
Selanjutnya, Azami membantah tuduhan-tuduhan yang diberikan para orientalis terkait keberadaan sanad dalam hadis Nabi, antara lain: pertama, kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majlis nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Kedua, mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena diantara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka. Ketiga, objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah. Keempat, teori Projecting Back (al-qadhf al-khalf) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis. Kelima, tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfū’ hadis yang mawqūf atau menjadikan muttasil hadis yang mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah. Keenam, penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.[71]
5.      Otentisitas Hadis   
Pada sub bab ini penulis akan memaparkan otentisitas hadis dari segi matannya saja, karena mengenai sanad hadis sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Metode yang digunakan ahli-ahli Hadis dinilai lemah oleh para orientalis dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena itu mereka menolak metode itu dan membuat metode sendiri yang kemudian dikenal dengan “metode kritik matan Hadis”.[72] Berikut akan dipaparkan pendapat dua orientalis yaitu Ignaz Goldziher dan Wensinck tentang matan hadis serta bantahan Azami terhadap pendapat mereka.
a.       Kritik Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan al-Bukhari yang berasal dari imam Zuhri adalah bertendensi politik. Bunyi hadis tersebut adalah:
عَنِ الزُّهْرِيَّ، عَنْ سَعِيْدِ، عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُشَدُّ الرَّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الآَقْصَى.
Dari Abu Hurairah diriwayatkan dari az-Zuhri, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid: masjid al-Haram, masjid Nabawi dan masjid al- Aqsha”.
Katanya, Abdullah ibn Zubair yang sedang berkuasa di Mekkah akan mengambil kesempatan untuk membaiat orang-orang Syam yang pergi Haji agar setia kepadanya. Oleh karena itu, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak pergi haji ke Mekkah tapi cukup di Qubbah al-Shakhra’ di al-Quds (Palestina). Untuk itu ia menugaskan al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung kepada Nabi.[73]
Tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri tehadap hadis di atas dibantah oleh Azami. Menurutnya, tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri dan kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H. Dan 58 H., dan ia tidak pernah bertemu dengan ’Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H. Di sisi lain, pada tahun 68 H., orang-orang Dinasti Umayah berada di Mekah menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan Bani Umayah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H. (saat itu alZuhri berumur antara 10 sampai 18 tahun) dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu, tidak mungkin ’Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.[74]
b.      Kritik Wensinck
Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitas pemikiran di kalangan umat Islam pasca wafatnya nabi membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama Islam itu melalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai matan.[75] Misalnya, hadis tentang aqidah dan syariah yaitu, hadis yang diriwayatkan dari Ibn ’Umar bahwa Rasulullah bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بُنِيَّ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالحَجْ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibn ‘Umar ra. Berkata Rasulullah SAW. telah bersabda: “Islam ditegakkan atas lima dasar, syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa pada bulan Ramadan”
Menurutnya, bukti hadis tersebut dibuat oleh para Sahabat sesudah Nabi wafat adalah sebagai berikut: ”Nabi tidak pernah mempunyai suatu ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang Kristen di Syam dan mereka mengetahui bahwa orang-orang Kristen mempunyai ungkapan khusus, mereka merasakan perlunya membikin ungkapan atau kalimat seperti itu. Maka mereka pun mencetuskan semangat Islam dalam bentuk dua hadis tersebut”.[76]
Tuduhan Wensinck terhadap hadis tersebut menurut Azami terlalu mengada-ada, karena Wensinck tahu persis bahwa dua kalimat syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjamaah oleh umat Islam semenjak masa nabi di samping shalat-shalat sunnah, dan kalimat tersebut termasuk dalam adzan yang dikumandangkan sejak masa nabi.[77]
Selanjutnya, untuk mengetahui otentitas hadis, menurut Azami seseorang harus melakukan kritik hadis baik itu menyangkut sanad hadis maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadis nabi diantaranya:[78] pertama, memperbandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang guru. Kedua, memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda. Ketiga, memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis. Keempat, memperbandingkan hadis-hadis dengan Ayat al-Qur’an yang berkaitan.
D.    Metode yang ditawarkan Azami dalam Buku ini
Setelah mengidentifikasi buku Muhamamd Mustafa Azami yang berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, penulis dapat menyimpulkan bahwa M M. Azami merupakan ilmuwan hadits yang memadukan metodologi barat (historis-filologis) dan metodologi kritik hadis (sanad dan matan) yang dikembangkan oleh ulama di masa lampau yang sudah mapan. Walau beliau pernah mengenyam pendidikan di Barat, namun ia tetaplah hanif, pemikirannya tidak liberal sebagaimana sarjana muslim lainnya ketika selesai menempuh studi di Barat. Buktinya bisa dilihar pada akhir buku Azami, dia melampirkan beberapa manuskrip-manuskrip hadis yang ditulis pada abad pertama hijriyah.
E.     Apresiasi dan Kritik Penulis
Secara umum, menurut penulis buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya ini sangat sistematis dan komperhensif, Azami mampu membantah teori-teori para orientalis tentang hadis dengan pembuktian yang ditunjang oleh dasar-dasar ilmiah yang objektif dan jauh dari sifat polematis. Oleh karena itu, buku ini bernilai monumental dan menyakinkan. Selain orientalis, Azami juga mampu membantah pendapat-pendapat para munkir sunnah. Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan yang ada dalam buku Azami yang dapat penulis rangkum.
1.      Kelebihan
a)      Azami menguraikan secara rinci dan rapi pada setiap bahasan buku ini, dan juga memaparkan bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah.
b)      Penelitian Azami menggunakan kaidah dan disiplin ilmu yang digunakan para orientalis yaitu historis-filologis, akan tetapi kesimpulan yang dihasilkan berbeda dengan kesimpulan para orientalis. Dari sinilah para orientalis bisa menerima dan mengakui sanggahan Azami
c)      Azami memperkuat argumen yang ia sampaikan dengan manuskrip asli yaitu naskah Ibnu Suhail, yang berisi sekitar 40 hadits, Azami telah meneliti sanadnya dan menghasilkan kesimpulan yang bisa membantah teori-teori dari para orientalis.
d)     Pemilihan diksi dalam penulisan buku itu sangat bagus dan hal tersebut mempermudah pembaca dalam memahami isi buku tersebut.
2.      Kekurangan
a)      Menurut penulis, kekurangan buku ini tidak terlalu dominan, karena tertutupi oleh kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari buku M. M Azami yang berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya ini, dapat disimpulkan bahwa ia dapat membantah teori-teori yang dikemukakan oleh para orientalis tentang hadis. Adapun teori – teori yang dimaksud adalah Projecting Back, Common Link, E Silentio dan teori isnad keluarga. Dia membuktikan bahwa hadis sudah ada pada abad I Hijriyah dengan memperkuat hal-hal sebagai berikut:
1.      Makna sunnah. Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi saw jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi tidak berkisar pada permasalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.
2.      Penulisan hadis. Menurut Azami kebanyakan hadis sudah didokumentasikan secara tertulis sejak masa hidup para sahabat. Selain itu, ia juga membuat daftar lima puluh sahabat, empat puluh delapan tabi’in pada abad pertama hijriah, delapan puluh enam pada akhir abad pertama dan awal abad kedua, yang menurutnya terlibat dalam kegiatan tulis menulis.
3.      Periwayatan hadis. Menurut Azami metode dalam mengajarkan hadis dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu: pertama, mengajarkan hadis secara lisan, kedua, membacakan hadis dari suatu kitab, ketiga, metode soal-jawab, dan keempat, metode imla’.
4.      Membantah argumen-argumen para pengingkar sunnah.
Selain itu, hal yang memperkuat argumen-argumen Azami dalam bukunya ini adalah adanya manuskrip-manuskrip yang ditulis sejak abad I Hijriyah.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009.
Azami, M. Mustafa. On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Asrofi Shodri dengan judul Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
_______________. Studies In Early Hadith Literature atau Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, terj. Ali Mustafa Yakub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
_______________. Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977), hlm. 52 (e-book di unduh dari www.scribd.com
Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, terj. Syarif Hade Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.  
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana, 2011.
Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1950.
Smeer, Zeid B. Studi Hadis Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis dalam Memahami Ilmu Hadis, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Sya’roni, Usman. Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadis, Cet; IV, Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Kamus
Yusuf Muhammad Baqaa’i, Qamus al-Thullab: ‘Arabiy-‘arabiy, Maghrib: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Jurnal
Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustofa Azami,” Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 3, 1 (2014).
____________, “Pemikiran Goldziher dan Azami tentang Penulisan Hadis,” Kalam: Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam – Vol. 6, 2 (2012).
Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011).
Umaiyatus Syarifah “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014).

Sumber Lain
Juliana Sari, “Teori Projecting Back (Telaah atas Pemikiran Joseph Schacht)”, www.academia.edu (diakses tanggal 18


[1] Umaiyatus Syarifah “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014), hlm. 223.
[2] M. Mustafa Azami, Studies In Early Hadith Literature atau Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, terj. Ali Mustafa Yakub dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 700.
[3] Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustofa Azami,” Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 3, 1 (2014), hlm. 122.
[4] Umaiyatus Syarifah “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadits (Counter atas Kritik Orientalis),” Ulul Albab Volume 15, 2 (2014), hlm. 224.
[5] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 49-50.
[6] Ibid.,  hlm. 7-9.
[7] Ibid., hlm. 9-10.
[8] Yusuf Muhammad Baqaa’i, Qamus al-Thullab: ‘Arabiy-‘arabiy, (Maghrib: Dar al-Ma’rifah, t.t), hlm. 336.
[9] QS. an-Nisa’(4) : 26.
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 5. 
[11] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet; IV, Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hlm. 13.
[12] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 13.
[13] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah..., hlm. 9.
[14] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu..., hlm. 14.
[15] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 14.
[16] M. M. Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Asrofi Shodri dengan judul Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum: Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 35.
[17] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 20.
[18] Ibid.
[19]Ahmad Isnaeni, “Pemikiran Goldziher dan Azami tentang Penulisan Hadis,” Kalam: Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam – Vol. 6, 2 (2012), hlm. 372-373.
[20] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 106.
[21] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 107.
[22] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 108.
[23] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin..., hlm. 101-102.
[24] Ibid., hlm. 103.
[25] Ibid.
[26] Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer..., hlm. 241.
[27] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 108.
[28] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin..., hlm. 104.
[29] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 109.
[30] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin..., hlm. 104.
[31] Ibid., hlm. 105.
[32] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 173.
[33] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 454.
[34] Misalnya seperti yang ditulis oleh (1) Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 175. (2) Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 26. (3) Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, terj. Syarif Hade Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 50.  
[35] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu…, hlm. 175.
[36] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 67-68.
[37] Ibid., hlm. 68.
[38] Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 26-27.
[39] Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyir al-Nadzir, terj. Syarif Hade Masyah dengan judul Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 52.  
[40] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu..., hlm. 69-70.
[41] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu…, hlm. 177.
[42] Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut…, hlm. 28.
[43] Ibid., hlm. 29-30.
[44] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu…, hlm. 181.
[45] Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir…, hlm. 70.
[46] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu…, hlm. 182.
[47] Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir…, hlm. 71.
[48] Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut…, hlm. 31.
[49] Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir…, hlm. 72.
[50] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu…, hlm. 183.
[51] Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut…, hlm. 32.
[52] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu..., hlm. 77-78.
[53] Ibid., hlm. 78.
[54] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 530.
[55] Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 208.
[56] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), hlm. 163.
[57] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 22.
[58] M. M. Azami, On Schacht’s Origins..., hlm. 232-233.
[59] Joseph Schacht, The Origins of..., hlm. 165.
[60] Juliana Sari, “Teori Projecting Back (Telaah atas Pemikiran Joseph Schacht)”, www.academia.edu (diakses tanggal 18 Desember 2016)
[61] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 3. 
[62] Ibid., hlm. 59.
[63] Ibid., hlm. 59.
[64] Joseph Schacht, The Origins of..., hlm. 140.
[65] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 180.
[66] Ibid.
[67] Ibid., hlm. 180-181.
[68] Ibid., hlm. 181.
[69] Ali Masrur, Teori Common Link..., hlm. 37.
   [70] M. M. Azami, On Schacht’s Origins..., hlm. 280.
[71] Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 211.
[72] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 608.
[73] Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer..., hlm. 243.
[74] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 609-610.
[75] Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”, Al-Tahrir, Vol. 11, 1 (Mei, 2011), hlm. 212.
[76] M. Mustafa Azami, Studies In Early..., hlm. 614.
[77] Ibid.
[78] M. Mustafa. Azami, Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977), hlm. 52 (e-book di unduh dari www.scribd.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bangsal Menggawe; sebuah catatan pribadi #4

Sudah cukup lama saya tidak lagi menggeluti sepak bola. Terakhir, seingatku, dua tahun berturut-turut menjadi juara ke tiga tingkat kecama...