A.
Biografi Singkat Clifford Geertz
Clifford James Geertz lahir di San Fransisco,
California pada tanggal 23 Agustus tahun 1926 dan meninggal dunia pada tanggal 31
Oktober 2006 dalam usia 80 tahun. Setelah menyelesaikan SMA, ia mempelajari
filsafat hingga mendapat gelar B.A. tahun 1950 dari Antioch College di Ohio.
Selanjutnya beliau melanjutkan studi antropologi di Harvard University, dan disinilah
ia banyak dituntut kerja lapangan sebagai landasan bagi konstruksi keilmuannya.[1]
Clifford James Geertz adalah seorang ahli antropologi
asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui penelitian-penelitiannya
mengenai Indonesia
dan Maroko
dalam bidang seperti agama
(khususnya Islam),
perkembangan ekonomi,
struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga. Terkait kebudayaan
Jawa, ia memopulerkan istilah priyayi
saat melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada
tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi,
santri
dan abangan.Sejak
tahun 1970 hingga
meninggal dunia Geertz menjabat sebagai profesor emeritus di
Fakultas Ilmu Sosial di Institute for
Advanced Study. Ia juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di Departemen
Sejarah Universitas Princeton dari 1975 hingga 2000.[2]
B.
Kegelisahan Akademik atau Hipotesis Clifford Geertz
Faktor
yang mendorong Clifford Geertz melakukan penelitian tentang variasi keagamaan
dalam kebudayaan Jawa adalah tugas akademik untuk mengadakan penelitian
masyarakat multi agama di Indonesia (Jawa) dari kampusnya, yaitu Harvard
University. Penelitian ini dilakukan dalam waktu 2 tahun, yaitu dari tahun 1952
sampai 1954. Penelitian inilah yang selanjutnya menghantarkannya hingga
menyandang gelar doktor dari Harvad’s Departemen of Sosial Relations tahun
1956.[3]
Adapun,
sistem logika yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, artinya
peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesis tertentu yang ingin
diuji kebenarannya di lapangan. Akan tetapi, peneliti datang ke lapangan tanpa
ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya
diinterpretasi menggunakan teori tertentu.[4]
C.
Pendekatan Penelitian
Dalam
dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan
metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu
yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna
metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan
penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan
masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi
bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu
permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode
atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[5]
Adapun
pendekatan yang digunakan Clifford Geertz dalam penelitian ini adalah
pendekatan antropologis. Menurut kamus umum, antropologi adalah ilmu
pengetahuan tentang manusia mengenai asalnya, perkembangannya, jenis
(bangsanya) dan kebudayaannya. Dengan demikan, antropologi itu adalah salah
satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah manusia dan budayanya, ilmu
antropologi ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia
sebagai makhluk hidup baik di masa lampau maupun di masa sekarang.[6]
Selanjutnya,
pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula dalam
memahami agama.[7]
Antropologi
dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dewam Rahardjo, lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul
kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologi. Penelitian antropologi
yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada,
atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori
formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yag dilakukan di bidang
sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis,
banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[8]
Jadi,
dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa melalui pendekatan antropologis
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia.
Oleh karena itu, pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab
masalah agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan
antropologi. Artinya, manusia dalam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan
melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[9]
D.
Hasil Penelitian
Pembahasan
dalam buku ini terdiri dari empat bagian, yaitu:
- Bagian satu menjelaskan tentang varian abangan. Penjelasan tentang varian abanganini terdiri dari sembilan bab yaitu dari bab satu sampai bab sembilan.
- Bagian dua menjelaskan tentang varian santri. Penjelasan tentangvarian santriini terdiri dari tujuh bab yaitu dari bab sepuluh sampai bab enam belas.
- Bagian ketiga menjelaskan tentang varian priyayi.Penjelasan tentangvarian priyayiini terdiri dari lima bab yaitu dari bab tujuh belas sampai bab dua puluh satu.
- Bagian keempat menjelaskan simpulan yang terdiri dari satu bab saja yaitu bab dua puluh dua.
Berikut
ini adalah penjelasan singkat tentang masing-masing bagian.
1.
Varian Abangan
Abangan adalah varian yang mempresentasikan penekanan pada aspek animistis
dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi dan secara luas terkait dengan
elemen petani. Adapun ciri khas varian abangan antara lain: pertama, mengadakan
sebuah upacara komunal yang disebut slametan. Kedua, percaya terhadap
makhluk halus. Dan ketiga, percaya terhadap perdukunan yang meliputi
pengobatan, sihir dan magi. Berikut penjelasan umum tentang ketiga ciri khas
tersebut.
Ciri pertama dari
varian abangan adalah mengadakan sebuah upacara untuk merespon kejadian
yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan yang disebut slametan.
Misalnya kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk,
panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa,
khitanan dan permulaan suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya slametan.
Persamaan dari
berbagai bentuk slametan ini adalah selalu ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu),
dupa, pembacaan do’a Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa
Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut
peristiwanya). Selain itu, selalu terlihat tatakrama yang sopan serta sikap
malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun upacara itu ringkas dan tidak
dramatis, tetapi sudah menjadi pemahaman umum bahwa sesuatu yang penting sedang
berlangsung.
Adapun makna slametan yang
diselenggarakan tersebut sebagaimana informasi yang didapatkan oleh Clifford
Geertz dalam penelitiannya adalah: pertama, adanya perasaan bahwa tidak
ada seorangpun yang berbeda satu sama lain. Artinya, dalam slametan
setiap orang diperlakukan sama. Kedua, slametan menjaga pelakunya dari
makhluk-makhluk halus sehingga mereka tidak akan diganggu. Artinya arwah setempat
tidak akan membuat pelakunya merasa sedih, sakit atau bingung.
Secara umum, slametan terbagi
ke dalam empat jenis: (1) yang berkisar di sekitar krisis kehidupan kelahiran,
khitanan, perkawinan dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari
raya Islam, seperti Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang
ada kaitannya dengan integrasi sosial desa, dan pembersihan desa; (4) slametan yang
diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar
biasa yang dialami seseorang, misalnya keberangkatan untuk sebuah perjalanan
jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit dan sebagainya.
Setelah
dijelaskan tentang makna slametan serta pembagiannya. Berikut akan
dipaparkan siklus dari masing-masing jenis slametan tersebut.
a.
Jenis Pertama
1)
Siklus Slametan Kelahiran
Di sekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan
berbagai slametan kecil. Pertama, tingkaben yaitu slametan utama
yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan. Acara ini
diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si
ibu, si ayah atau keduanya. Kedua, babaran atau brokohan yaitu slametan yang
diselenggarakan pada saat kelahiran
bayi. Ketiga, pasaran yaitu slametan yang diselenggarakan lima hari
sesudah kelahiran. Keempat, pitonan yaitu slametan yang
diselenggarakan pada tujuh bulan setelah kelahiran. Selain itu, slametan-slametan lain
bisa diadakan, bisa juga tidak yakni pada bulan ketiga masa kehamilan (telonan),
bulan pertama sesudah kelahiran (selapanan) dan setahun sesudahnya (taunan).
2)
Siklus Slametan Khitanan dan Perkawinan
Upacara untuk merayakan khitanan pada umumnya menyerupai pola
upacara perkawinan, tentu saja dengan meniadakan unsur-unsur yang berhubungan
dengan upacara bersanding bagi kedua mempelai. Dengan demikian, hidangan pada slametan
islaman (khitanan, disebut juga sunatan) sama dengan hidangan pada slametan
kepanggihan (perkawinan) dan kedua upacara itu memberikan kesempatan utama
untuk pengeluaran yang berlebih-lebihan dalam kehidupan orang Jawa. Hiburan
sewaan yang meriah – wayang kulit dengan seperangkat gamelan, orkes model Barat
lengkap dengan biduanitanya atau rombongan tari maupun drama keliling – sering
dipertunjukkan.
3)
Siklus Slametan Kematian
Kalau terjadi kematian di sebuah keluarga, maka hal pertama yang
dilakukan adalah memanggil modin atau
pejabat keagamaan resmi di desa. Dan kedua, menyampaikan berita di daerah
sekitar bahwa sebuah kematian telah terjadi. Kalau kematian itu terjadi sore atau
malam hari, mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memulai proses layatan
atau pemakaman.
Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian.Seorang
yang meninggal pada pukul 10 pagi akan dimakamkan pada tengah hari atau
beberapa saat sesudah itu dan orang yang meninggal pada pukul empat sore akan
sudah berada dalam liang lahat pada pukul 10 pagi berikutnya. Hal demikian
dilakukan, karena menurut mereka roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya
dikuburkan. Dan ini berbahaya bagi setiap orang, khususnya bagi keluarga yang
ditinggalkan. Makin cepat ia dikuburkan, makin cepat pula rohnya kembali ke
tempat yang layak.
b.
Jenis kedua,
jenis ini disebut dengan slametan menurut penanggalan yaitu slametan yang
diselenggarakan berdasarkan kalender tahunan umat Islam. Berikut adalah slametan menurut
penanggalan yang diakui orang Jawa:
1)
Satu Sura: ini lebih merupakan hari raya Budha dari pada
hari raya Islam. Karenanya, ia hanya dirayakan oleh mereka yang secara sadar
anti Islam. Dengan tumbuhnya beberapa sekte anti Islam yang bersemangat sejak
masa perang serta munculnya guru-guru keagamaan yang mengkhotbahkan perlunya
kembali kepada adat Jawa yang asli, frekuensi slametan satu sura
mungkin telah sedikit meningkat. Beberapa individu tertentu yang anti Islam bahkan
berpuasa pada bulan sura dan tidak dalam bulan pasa, tetapi ini
agak jarang terjadi.
2)
10 Sura: untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya cucu Nabi,
yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika
beliau sedang berperang melawan kaum kafir. Mereka membawa beras (dimana mereka
memperoleh berasdinegeri Arab tidak dibahas) ke sungai untuk dicuci, tetapi
kuda musuh menghampiri dan menendang beras itu ke sungai. Kedua anak itu
menangis dan kemudian memungut beras yang telah bercampur dengan pasir serta
kerikil. Namun, mereka memasaknya juga menjadi bubur. Dengan demikian, slametan
ditandai oleh dua mangkok bubur, yang satu dengan kerikil serta pasir
didalamnya untuk dimakan para cucu, dan satunya lagi dengan kacang dan potongan
ubi goreng untuk melambangkan ketidak murnian, yang akan dimakan oleh orang
dewasa. Walaupun beberapa orang mengatakan bahwa upacara keagamaan ini pada dasarnya
upacara ini berasal dari kaum Syi’ah, tetapi sudah berubah menurut daerah
kadang kadang masih diadakan, tetapi saya tidak pernah melihat ada yang
melakukannya di Mojokuto dan pada umumnya memeng jarang.
3)
12 Mulud: hari dimana, menurut konvensi, Nabi dilahirkan dan
meninggal dunia. Slametan ini disebut muludan (ini dan nama bulan
itu sendiri, mulud diambil dari istilah Arab maulud “kelahiran”). Slametan
ini ditandai dengan ayam utuh yang diisi (bagian dalamnya dikeluarkan, dicuci
dan diisi, lalu ayam itu dikaitkan kembali), bentuk sajian yang utama untuk Nabi
pada semua slametan. Slametan ini mungkin adalah yang paling
teratur diadakan diantara slametan menurut penanggalan lainnya.
4)
27 Rejeb: Slametan ini disebut rejeban,
merayakan mi’raj, perjalanan Nabi mengahadap Tuhan dalam satu malam. Panganannya
sama dengan muludan dan walaupun slametan ini cukup sering
diadakan (selalu dalam ukuran sangat sederhana) banyak kalangan bukan santri
tidak mengerti apa maksud slametan ini.
5)
29 Ruwuh: Permulaan puasa yang disebut megengan (dari
pegeng “menyapih”). Slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka yang
setidaknya salah satu dari orang tuanya sudah meninggal. (Ruwah, nama
bulan itu berasal dari kata Arab arwah, jiwa orang yang sudah meninggal).
Sebagaimana layaknya slametan kematian, ia ditandai oleh adanya panganan
dari tepung beras, apem, yang merupakan lambang orang Jawauntuk kematian.
Sejenak sebelum slametan, orang pergi kemakam untuk menyebarkan bunga dikuburan
orang tuanya dan roh orang tua ini dianggap hadir dalam slametan untuk
makan bau panganan. Orang juga mandi keramas untuk menyucikan diri mengahadapi
puasa. Berbeda dengan kebanyakan slametan lainnya, magengan
diadakan sebelum matahari terbenam (tidak sesudahnya) dan dengan begitu,
menandai siang hari terakhir orang diperbolehkan makan sebelum puasa tiba.
6)
21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa: slametan yang diadakan
pada salah satu dari hari ini disebut maleman (dari “malam”), karena
diadakan pada malam hari. Pasalnya, makan disiang hari pada bulan pasa
dilarang, (namun, sementara kalangan bukan santri tidak mena’ati
larangan ini dan orang yang tidak berpuasa tidak malu-malu makan didepan umum,
sementara orang orang lain sedang berpuasa). Orang memilih salah satu dari hari-hari
ini begitu saja atau melalui ramalan petungan yang diterapkan pada hari
lahirnya. Tanggal terakhir, 29 disebut jagalan hari situkang jagal karena
menurut tradisi, tukang jagal menggunakan hari-hari lainnya untuk menyembelih
binatang bagi slametan orang lain dan hari terakhir ini digunakan untuk
dirinya sendiri. Tetapi, ini tak lagi ditaati. Terkadang orang mengatakan bahwa
tanggal 21, 23, dan 25 adalah untuk orang Islam sejati (kaum santri), tanggal
27 untuk orang muda dan tanggal 29 untuk orang berusia lanjut. Tetapi, seberapa
luas kepercayaan ini dianut orang, saya tidak tahu pasti. Hampir tiap abangan
mengadakan maleman pada salah satu dari tanggal-tanggal ini. Didesa-desa,
muludan dan maleman biasanya merupakan perayaan seluruh desa yang
diadakan dirumah kepala desa. Ke situlah semua keluarga didesa itu membawa
hidangan slametan yang kemudian dipertukarkan, hampir seperti perayaan
bersih desa yang akan dibahas nanti.
7)
Satu Sawal: mengakhiri puasa, yang disebut bruwah.
Nasi kuning dan sejenis telur dadar adalah hidangan spesialnya. Hanya orang
yang benar-benar puasa yang dianjurkan mengadakan slametan ini, tetapi
beberapa orang yang tidak berpuasa pun mengadakan. Arwah orang yang meninggal
kadang-kadang juga dianggap turun kebumi untuk mengahadiri slametan ini
dan orang kemudian melanjutkan dengan berziarah kemakam orang tua mereka.
8)
Tujuh Sawal: sebuah slametan kecil yang disebut kupatan.
Hanya mereka yang memiliki anak kecil yang telah meninggal yang dianjurkan
untuk mengadakan slametan ini yang tentunya mencakup hampir semua orang
dewasa di Jawa, walaupun slametan ini dalam kenyataannya tak begitu
sering diadakan. Pada pukul tujuh pagi, orang membuat kupat dan penganan dengan
bungkus yang hampir sama yang disebut lepet. Beberapa diantaranya
digantungkan dipintu luar, sehingga anak-anak kecil yang sudah mati bisa pulang
dan makan disana tanpa mempedulikan siapapun yang ada didalam.
9)
10 Besar: ini adalah hari penghormatan terhadap pengorbanan Nabi
Ibrahim dan hari dimana Jemaah haji berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan lagi
pengorbanan itu. Sekalipun hari raya ini penting bagi kalangan santri,
yang menyembelih sapidan kambing untuk fakir miskin, slametan ini jarang
diadakan. Harus dicatat bahwa takada sajen yang dipersiapkan semuaslametanIslam
ini paling tidak sajen dianggap tak perlu ada disana.
c.
Jenisketiga, jenis
ini disebut dengan slametan bersihdesa yaitu slametan yang
diselenggarakan berhubungan dengan pengkudusan hubungan dalam ruang, dengan merayakan
dan memberikan batas-batas kepada salah satu unit teritorial dasar dari
struktur sosial orang Jawa. Apa yang ingin dibersihkan dari desa itu tentu saja
adalah makhluk-makhluk halusyang berbahaya, dimana hidangan dipersembahkan
kepada danyangdesa (makhluk halus penjaga desa) di tempat pemakamannya.
Di desa yang kuat santrinya, bersihdesa bisa berlangsung di masjid dan
seluruhnya terdiri atas pembacaan do’a. Di desa-desa yang tak bermakam danyang
atau bila tempatnya tidak baik letaknya, upacara itu bisa diselenggarakan
di rumah kepala desa. Setiap keluarga di desa itu diharuskan menyumbang makanan
dan setiap kepala keluarga yang sudah dewasa harus ikut serta dalam slametan
ini. Bersihdesa selalu diadakan pada bulan Sela, bulan ke-11
tahun Kamariah, tetapi masing-masing desa mengambil hari yang berbeda-beda
tergantung pada anggapan orang tentang karakteristik pribadi danyang desanya.
Sebagai contoh, di sebuah desa dekat Mojokuto, danyang desanya yang
bernama “Mbah Jenggot”adalah seorang yang agak bajingan dan karenanya menuntut
pembakaran candu serta diadakannya tayuban, sebuah bentuk hiburan yang
agak buruk, yang mengikutsertakan penari perempuan jalanan (yang biasanya juga
seorang pelacur) serta upacara minum arak Belanda. Hal ini dianggap sebagai kemauan
sang danyang, karena ketika danyang ini merasuki seseorang yang
melewati sumber air tempat ia tinggal, ia menuntut candu serta tayuban sebagai
imbalan untuk kesediaannya pulang dan meninggalkan orang yang malang itu supaya
sadar kembali. Di desa lain, danyang desa-nya berasal dari tipe yang
lebih wajar dan estetis, karenanya wayang kulit harus diadakan untuknya.
d.
Jeniskeempat,
jenis ini disebut dengan slametan selingan yaitu slametan yang
diadakan sekali-kali untuk sebuah peristiwa atau maksud khusus yang biasanya
tidak berulang kembali pada rangkaian jarak waktu tertentu. Misalnya, slametan
pindah rumah, ganti nama, memulai perjalanan, mimpi buruk, menolak atau
meminta hujan, ulang tahun klub-klub dan organisasi persaudaraan, slametan karena
terkena tenung, untuk pengobatan serta slametan untuk anak tunggal. Pola
slametan ini sebagai refleks defensif terhadap kejadian yang tidak
biasa.
Ciri kedua dari
varian abangan ini adalah percaya terhadap makhluk halus. Ada tiga jenis
makhluk halus utama yang mereka yakini yaitu: memedi(secara harfiah
berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus) dan tuyul.
Memedihanya mengganggu orang atau menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya
tidak menimbulkan kerusakan serius. Memedilaki-laki disebut gendruwo
dan yang perempuan disebut wewe(kawin dengan gendruwo, mereka
selalu terlihat menggendong anak kecil dengan selendang di pinggang,
sebagaimana ibu-ibu manusia).Memedibiasanya ditemukan pada malam hari,
khususnya di tempat-tempat yang gelap dan sepi. Seringkali mereka tampak dalam
wujud orang tua atau keluarga lainnya, hidup atau mati, kadang-kadang malahan
menyerupai anak sendiri.
Lelembut, berbeda dengan memedi, ia dapat menyebabkan seseorang
jatuh sakit atau gila. Lelembutmasuk ke dalam tubuh orang dan kalau
orang itu tidak diobati oleh seorang dukun asli Jawa, ia akan mati.
Dokter-dokter Barat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap penyakit atau kegilaan
yang disebabkan oleh lelembut. Dukunsering bisa mengatakan di bagian
tubuh mana lelembutitu masuk dan dapat mengeluarkannya dengan memijat
tempat itu saja, misalnya kaki, lengan, atau bagian punggung. Karena lelembutsamasekali
tidak tampak, dia juga tidak mengambil wujud salah seorang keluarga, tetapi
mereka ini sangat berbahaya bagi manusia.
Jenis terakhir
ialah tuyul yaitu makhluk halus anak-anak (anak-anak yang bukan
manusia). Mereka tidak menggangu, menakuti orang atau membuatnya sakit, akan
tetapi sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membatu manusia
menjadi kaya. Kalau orang ingin berhubungan dengan mereka, ia harus berpuasa
serta bersemedi, tak lama kemudian, orang itu akan bisa melihat mereka dan
untuk selanjutnya bisa memperkerjakan mereka buat kepentingannya sendiri.
Adapun ciri
ketiga dari varian abangan adalahpercaya terhadap perdukunan yang meliputi
pengobatan, sihir dan magi. Pada hakikatnya, membatasi dukun pada konteks
abangan saja tidaklah benar, karena kepercayaan dan ketidakpercayaan
terhadap kekuatan mereka maupun kepada mereka sebagai orang-orang yang
sebenarnya menjalankan seni perdukunan, tersebar di seluruh masyarakat Jawa,
baik di kalangan priyayi, santri maupun abangan. Namun,
frekuwensi yang lebih besar dan lebih pentingnya hal itu dalam kehidupan
sehari-hari serta mungkin lebih besarnya kepercayaan kepada perdukunan di
kalangan abangan, dapat membenarkan anggapan bahwa dukun adalah
sebuah fenomena yang sebagian besar ada di kalangan abangan.
2.
Varian Santri
Santri adalah orang-orang yang kepercayaannya lebih ditekankan pada aspek
Islam dari sinkretisme dan umumnya dihubungkan dengan elemen pedagang. Ketika
membandingkan varian abangandan santri dari pola keagamaan
Mojokuto, ada dua perbedaan umum yang mencolok, yaitu: pertama, kalangan
abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin tetapi terpesona oleh detail
keupacaraan. Sementara di kalangan santri, perhatian terhadap doktrin
hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang sudah menipis. Seorang abangan
tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi
hidangan pokoknya – bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian. Untuk kalangan santri,
peribadatan pokok juga penting – khususnya sembahyang, pelaksanaanya secara
sadar dianggap oleh kalangan santri maupun non-santri sebagai tanda istimewa
dari seseorang yang benar-benar santri – tetapi hal itu tidak begitu
banyak dipikirkan. Dalam keadaan apapun, peribadatan itu sederhana saja. Yang
menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali
penafsiran moral dan sosialnya.
Perbedaan kedua
yang jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak
pada masalah organisasi sosial mereka. Untuk kalangan abangan, unit
sosail paling dasar tempat hampir semua berlangsung adalah rumahtangga seorang
pria, isterinya dan anak-anaknya. Misalnya sebuah rumahtangga mengadakan slametan,
maka para kepala rumahtanggalah yang datang megikuti slametan itu, yang
kemudian membawa pulang sebagian makanan bagi anggota keluarga yang lain. Untuk
kalangan santri, sebagai rasa satu komunitas (ummat) adalah yang terutama.
Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris, komunitas
yang semakin lama semakin lebar – Mojokuto, Jawa, Indonesia, seluruh dunia
Islam – yang terbentang dari tempat berdiri seorang individu santri, sebuah
komunitas besar orang-orang yang beriman, yang senantiasa mengulang pengucapam
nama Nabi, melakukan sembahyang dan membaca Al-quran.
Selain itu, di
kalangan santri sendiri ada yang konservatif atau kolot dan ada yang
modernis. Berikut adalah perbedaan antara kedunya dari segi dokrin, antara
lain:
a.
Kelompok kolot cenderung menitikberatkan
hubungan dengan Tuhan dimana penerimaan rahmat serta berkat sebagai hasil
kemurahannya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan moral serta pengertian bahwa
peruntungan seseorang seluruhnya ditetapkan oleh kehendak Tuhan merupakan ciri-ciri
pokoknya. Kelompok modern cenderung
menitikberatkan hubungan dengan Tuhan, dimana kerja keras dan penentuan nasib
sendiri menjadi titikberatnya.
b.
Kelompok
kolot cenderung memegang sebuah konsep yang totalistik, mengenai peran agama
dalam kehidupan, dimana semua aspek usaha manusia cenderung memiliki makna
keagamaan dan dimana batas antara apa yang bersifat keagamaan serta sekuler,
cenderung kabur. Kelompok modern cenderung memegang pengertian yang sempit
tentang agama dimana hanya aspek-aspek tertentu
yang jelas batasnya yang dianggap suci dan dimana batas antara apa yang agama
serta apa yang sekuler cenderung cukup tajam.
c.
Kelompok
kolot cenderung kurang menaruh perhatian (tetapi masih memperhatikan juga)
kepada kemurnian Islam mereka dan lebih longgar dalam memberikan upacara-upacara
non-Islam setidaknya sebuah ruang kecil dalam wilayah agama. Kelompok
modern cenderung bersikeras untuk Islam yang sudah dimurnikan dari elemen
keagamaan lain.
d.
Kelompok
kolot cenderung memberi tekanan pada aspek pemenuhan agama secara langsung,
menekankan pengalaman keagamaan. Kelompok modern cenderung memberi tekanan pada
aspek instrumental dari agama, memperhatikan tingkah laku keagamaan.
e.
Kelompok
kolot cenderung membenarkan praktik dengan kebiasaan dan berdasarkan
pembelajaran skolastik yang terperinci terhadap ulasan-ulasan
keagamaan yang tradisional. Kelompok modern cenderung membenarkan hal itu atas
dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan rujukan umum
kepada al-Qur’an dan hadist yang ditafsirkan secara longgar.
Terkait pola
organisasi internal santri, ada dua partai politik besar kaum santri
di Mojokuto yaitu Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU), satu partai kecil yaitu
Partai Sarekat Islam indonesia (PSII), serta satu organisasi sosial yang
berkenaan dengan pendidikan dan berbagai kegiatan amal yang mengklaim tidak
politis, tetapi yang pada kenyataannya terjalin rapat dengan Masyumi, yaitu
Muhammadiyah. Pada umumnya Masyumi-Muhammadiyah dianggap oleh setiap orang
sebagai “progresif” atau “modernis” dan NU dianggap sebagai “konservatif” dan
“kuno”.(Di Mojokuto, PSII biasanya dikelompokkan ke dalam sektor modernis).
Pada
perkembangannya, partai-partai politik rupanya semakin lama semakin bertambah
penting sebagai dasar organisasi sosial kaum santri di desa maupun kota,
menggantikan ikatan geografis yang lama dengan ikatan ideologi (sebuah
kecenderungan yang ada, tetapi tidak begitu terlihat di kalangan abangan dan
priyayi). Tujuan Nahdatul Ulama, menurut seorang pemimpinnya adalah untuk
membangunkan kiyai yang tertidur. NU berusaha mewadahi bentuk-bentuk ikatan
sosial keagamaan tradisional yang berpusat di sekitar pondok dengan struktur partai
politik modern yang hanya sedikit saja mengubah bentuk ikatan tradisonal itu.
Sedangkan Masyumi-Muhammadiyah mencoba mengganti bentuk lama itu dengan
mengajukan beberapa model buatan kota yang membuka berbagai kemungkinan. Semua
ini merupakan kelompok-kelompok sosial yang menjadi rujukan pokok bagi kaum
santri di Mojokuto.
Pada awalnya
sistem pendidikan santri secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.
Pondok (pola tradisional)
Pondok disebut juga dengan pesantren. Sebuah pondok terdiri atas
seorang guru – pemimpin, pada umumnya seorang haji yang disebut kiyai dan
sekelompok murid laki-laki yang berjumlah 300 atau 400 sampai 1000 orang yang
disebut santri.
Bangunan pokok hampir tanpa kecuali
terletak di luar kota. Biasanya terdiri atas sebuah masjid, rumah kiyai
dan sederatan asrama untuk para santri. Pengajian diberikan dimasjid dimana kiyai
membaca bagian dari kitab fatwa keagamaan (dan sejak munculnya Muhammadiyah, al-qur’an
dan hadist makin sering dibaca) kemudian para santri menirukannya baris demi
baris. Kalau kiyainya bisanya bisa berbahasa Arab, jarang sekali terjadi, ia
mungkin akan memberikan komentar mengenai makna bagian-bagian tertentu dari
waktu-waktu yang dicatat oleh para santri di pinggir kitab mereka (dengan
tulisan Arab). Kalau ia tidak tahu bahasa Arab ia bisa menggunakan terjemahan
Indonesia. Dalam keduanya adalah bentuknya yang sangat penting dalam
hubungannya dengan pembacaan yang benar bukan isinya.
b.
Langgar dan masjid (komunitas santri lokal)
Kiyai serta pondoknya, dengan demikian sudah merupakan dan sampai
tingkat tertentu masih merupakan inti struktur sosial
Islam pedesaan dan puncak dari kultur kolot. Digabungkan disatu pihak dengan
ibadah haji dan pihak lain dengan langgar (yang biasanya sepekarangan dengan
rumah pribadi), hal yang sebagian merupakan sekolah, sebagian tempat
peribadatan dan sebagian lagi persaudaraan agama ini, mengaitkan umat diJawa
dengan dunia Islam yang lebih luas serta menentukan sifat ortodoksinya. Melalui
para kiyai, haji yang kembali dari Mekkah, konsep ortodoksi yang berlaku di ibu
kota dunia Islam tersaring kebawah sampai kepada massa umat Islam. Pertama-tama
kepada para santri mereka, kemudian kepada penduduk lainnya lewat masjid dan
langgar yang merupakan titik terminal riil dari jalanin komunikasi.
c.
Tarekat
Dipondok-pondok sering
terdapat perkumpulan mistik rahasia, persaudaraan esoterik
dimana hanya minoritas kecil santri ikut serta, tetapi yang memiliki kekuasaan
informal yang penting dalam pondok, seperti klub-klub
ekslusif yang biasa ada di universitas. Dibumbui dengan ujian kekuatan, melukai
tubuh dan puasa yang berkepanjangan, sekte dalam sekte ini intensitasnya tentu
sudah hampir sama dengan beberapa perkumpulan mistik Arab di Timur Tengah dan
Afrika Utara. Akan tetapi, karena mereka sekarang sudah musnah dan tertutup, maka
sulit untuk mengetahui terlalu banyak tentang mereka. Ada juga beberapa praktik
mistik di langgar-langgar, orang-orang
yang mengitung tasbihnya selama berjam-jam.
Namun bentuk utama mistisisme yang mungkin adalah persaudaraan orang-orang tua
yang berkerumunan disekitar seorang kiyai yang ahli dalam ilmu itu menjadi
semacam pondok bagi orang-orang yang sudah berumur. Walaupun, sering juga
santrinya pulang ke rumah disela-sela
jam pelajaran dan beberapa orang yang lebih muda juga ikut serta.
Mistisisme semacam itu diJawa disebut tarekat. Walaupun
berbagai sekte sufi telah memasuki Indonesia, diJawa Timur ada dua sekte yang
utama, kodiriyah (qadariyyah) dan naksaband. Keduanya
dianggap ortodoks karena para pengikutnya tidak meninggalkan rukun yang lazim.
Mereka biasanya berjalan atas dasar teori perkembangan mistik empat tahap: sarengat, menjalankan
kewajiban-kewajiban Islam yang lazim, tarekat yang berarti teknik mistik
yang khusus, hakekat yang berarti kebenaran atau kenyataan, dan makrifat
yang berarti pengertian. Perumpumaan yang biasa digunakan adalah mencari
mutiara, bagi penyelam mutiara, parahu berarti sarengat, pekerjaan
mendayung yang dilakukan adalah tarekat, mutiaranya sendiri adalah hakekat
serta pengetahuan yang diperolehnya bahwa ini benar-benar mutiara, kemampuannya
membedakan mutiara yang sejati dan palsu adalah makrifaat, yang menjadi
tujuan seorang penganut mistik.
Kemudian, pada
perkembangannya sistem pendidikan ini mengalami perubahan menjadi madrasah swasta
dan negeri.
3.
Varian Priyayi
Priyayi adalah orang-orang yang berada di birokrasi, pegawai dan guru
bangsawan kerah putih. Pada awalnya varianpriyayihanya keturanan ningratsaja,
akan tetapi pada perkembangannya pengertian ini mengalami perubahan.
Unsur bangsawan
ini sekarang kurang penting. Priyayi pada awalnya merujuk kepada orang
yang bisa menelusur balik asal-usulnya sampai kepada raja-raja besar Jawa pada
zaman sebelum penjajahan yang setengah mitos. Namun, karena Belanda yang
memerintah Jawa lebih dari 300 tahun itu, memperkerjakan kaum ini sebagai
instrumen administratif dari kebijakan mereka. Oleh karena itu, pengertian
istilah itu meluas mencakup orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi
akibat persediaan aristokrasi yang asli sudah habis.
Berikut adalah
hasil wawancara Clifford Geertz dengan salah seorang juru gambar yang memiliki
gelar priyayidi Kantor Irigasi tentang kelas. Ia mengatakan bahwa hanya
ada dua kelas yaitu priyayi dan bukan priyayi. Priyayi
adalah orang yang mengejakan pekerjaan halus yaitu mereka yang bekerja di
pemerintahan. Sedangkan yang bukan priyayi terdiri atas orang yang
melakukan pekerjaan kasar termasuk petani, buruh, pedagang dan lain-lain.
Ada beberapa ukuran
yang bisa digunakan orang untuk membedakan priyayi dan bukan priyayi:
pertama, kekayaan (tetapi dalam kenyataannya, priyayi sering tidak
sekaya pedagang santri yang kaya, malah mungkin lebih miskin
dibandingkan dengan kepada desa abangan yang kaya). Kedua, gaya hidup
misalnya pakaian yang mereka kenakan, rumah tinggal mereka, cara mereka
bertingkah laku, dan dengan siapa mereka bergaulkarena priyayi hanya
bergaul secara eksklusif dengan sesama priyayi saja. Ketiga, atau aspek
yang paling penting adalah keturunan.
Selain itu,
orang juga bisa menjadi priyayi karena prestasi. Misalnya, banyak orang
memiliki gelar master dan doktor berasal dari anak orang-orang desa yang kaya,
kepala desa yang kaya, pedagang dan sebagainya. Akan tetapi menurut Wiro, salah
satu informan Clifford Geertz mengatakan bahwa priyayi karena keturunan
lebih tinggi dari priyayi manapun yang memperoleh gelarnya karena
prestasi. Alasannya adalah mereka yang memperoleh kedudukan karena harta dan
belajar memiliki rasa kemanusiaan yang kurang jika dibandingkan dengan priyayi
dari keturunan.
Dalam kalangan priyayiada
tiga titik utama kehidupan keagamaan yaitu etiket, seni dan praktik mistik,
Clifford Geertz mengakui bahwa dia menggunakan kata agama disini dalam arti
agak luas dari pada yang lazim digunakan, tetapi tidak ada lagi yang bisa
dilakukan selama factor factor ini begitu berpadu, sehingga menelaahnya secara
terpisah tidak akan banyak artinya. Etiket, seni dan praktik mistik merupakan
usaha berurutan dari priyayi selagi ia bergerak dari permukaan
pengalaman manusia menuju ke dalamnya, Dari aspek luar kehidupan menuju aspek
dalamnya. Etiket, polesam kelakuan antar orang menjadi adat yang pantas dalam
pergaulan, memberikan formalitas kerohanian kepada prilaku sehari hari,
disiplin ganda atas pikiran dan badan, mengungkapkan arti penting dalam melalui
gerak gerik luar. Praktik mistik, pengaturan intensif atas kehidupan pikiran
serta perasaan, mengorganisasikan sember sumber spiritual untuk diarahkan ke
bijaksanaan yang tertinggi. Mata rantai yang menghubungkan ketiganya, yakni
unsur serupa yang mengikat mereka menjadi satu dan membuat ketiganya hanya
menjadi modus berbeda dari realitas yang sama adalah apa yang oleh orang Jawa dengan
meminjam sebuah konsep dari India disebut rasa.
Rasa memiliki
dua arti utama, perasaan dan makna. Sebagai perasaan ia merupakan salah satu
pancaindra tradisional melihat, mendengar, bicara, mencium dan merasa.
Didalamnya terkandung tiga aspek perasaan yang menurut pandangan kita tentang
pancaindra terpisah: rasa pada lidah, sentuhan pada tubuh serta perasaan emosi
dalam hati kesedihan, sebahagiaan dan sebagainya. Rasa sebuah pisang adalah
rasanya. Sebuah firasat adalah rasa, sakit adalah rasa dan demikian pula nafsu.
Sebagai makna
rasa digunakan dalam surat, sejak atau malah dalam pembicaraan untuk
menunjukkan yang tersirat dalam jenis saran kiasan melihat keutara untuk
mengenai yang diselatan yang sangat penting dalam komunikasi orang Jawa. Ia
juga diberi penerapan yang sama dengan perbuatan luar pada umumnya untuk
menunjukkan makna tersembunyi. Rasa konotatif dalam gerak tari, sikap yang sopan
dan sebagainya. Akan tetapi, dalam arti kedua ini ia juga adalah arti
tertinggi, makna terdalam yang dicapai orang berkat usaha mistik dan yang
penjelasannya memecahkan semua ambiguitas eksistensi dunia. Rasa, kata salah
seorang informan saya yang artikulatif sama dengan hidup. Semua yang hidup
memiliki rasa dan semua memiliki rasa pasti hidup. Atau apapun yang hidup
mempunyai makna dan apapun yang mempunyai makna, hidup. Jika definisi pertama
atau yang sensasionalis mengenai rasa menunjukkan baik rasa dari luar (rasa
dilidah dan kulit) maupun dari dalam (emosi) maka definisi rasa yang kedua atau
semantik menunjukkan baik makna kejadian - kejadian lahir, dunia prilaku luar
dari suara, bentuk serta gerak gerik maupun kejadian-kejadian batin yang jauh
lebih misterius, dunia kehidupan dalam yang berubah-ubah.
Dari paparan
tersebut dapat disimpulankan kalangan priyayi percaya bahwa semakin alus perasaan seseorang, maka semakin
tajam pengertiannya dan semakin tinggi watak moralnya maka semakin cantik pula
aspek-aspek luarnya.
Berikut penjelasan singkat tentang ketiga dimensi
kepercayaan priyayi.
a. Etiket
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yaitu
bentuk yang tepat untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan
dan menghindari tiap perbuatan yang menunjukkan kekacauan atau kurangnya
pengendalian diri.
b. Seni
Seni dalam kehidupan priyayi
dapat dibedakan menjadi tiga rumpun, antara lain:
1)
Rumpun I : Kompleks “Seni Alus”
a) Wayang – yang menggunakan boneka kayu atau kulit untuk mendramatisasi
cerita– cerita versi Jawa dari epos India, Mahabharata dan Ramayana, atau versi
mitologis dari sejarah kerajaan-kerajaan Jawa sebelum masa kolonial.
b)
Gamelan –orkes
tabuh yang dapat dimainkan sendiri atau mengiringi wayang atau berbagai bentuk
seni lainnya.
c)
Lakon – secara
harfiah berarti alur atau skenario sebuah
mitos yang bisa di dramatisasi dalam wayang, tetapi sering hanya diceritakan
secara lisan sebagaimana biasanya mitos.
d)
Joged – tarian
keratin Jawa, yang bisa berdiri sendiri atau menarikan lakon lakon wayang.
e)
Tembang –
sajak yang ditulis dalam berbagai bentuk yang kaku, yang biasa dibaca atau
dinyanyikan, dengan iringan gamelan kalau mau.
f)
Batik
– dekorasi
tekstil dengan metode lilin dan pencelupan.
2)
Rumpun II: Kompleks “Seni Kasar”
a)
Ludrug –
lawakan rakyat, melibatkan laki-laki yang
mengenakan baju perempuan dan pelawak rendahan sebagai tokoh utamanya.
b)
Kledek –
penari perempuan jalanan, yang menari baik sebagai penari keliling “dari pintu
kepintu” maupun sebagai penari yang disewa untuk memeriahkan pesta perkawinan,
khitanan dan sebagainya.
c)
Jaranan –
tarian rakyat, dimana para penari “menunggang” kuda kertas dan menjadi
keserupan, berbuat seolah olah mereka itu kuda.
d)
Dongeng –
cerita rakyat, legenda, fable dan sebagainya. Perbedaan utamanya dari lakon
terletak pada fakta bahwa dongeng selalu dikisahkan secara lisan dan tak pernah
di dramatisasi dalam wayang.
3)
Rumpun III: Kompleks “Seni Nasional”
a)
Orkes
–“Band
tari” populer (walaupun tak seorangpun pernah menari bersamanya) terdiri hamper
seluruhnya dari instrument petik banjo, gitar dan sebagainya.
b)
Lagu
– nyayian
populer yang dimainkan hampir tanpa henti diradio dan dinyanyikan pada pesta
khitanan, perkawinan serta berbagai peristiwa seperti itu oleh vokalis yang di
iringi orkes. Pada mulanya dipolakan menurut model musik
rakyat yang diilhami musikPortugis dari
berbagai daerah di Indonesia, sekarang ini mereka semakin mendekati model–model
Barat modern yaitu Amerika.
c)
Kesusasteraan
Indonesia – novel, sajak, cerita pendek dan sandiwara modern bergaya barat,
yang di tulis dalam bahasa Indonesia bahasa nasional.
d)
Bioskop –
film, Barat maupun Indonesia (atau melayu).
c.
Praktik mistik
Berikut
adalah delapan postulat yang telah diikhtisar oleh Clifford Geertz tentang
praktik mistik yang dilakukan oleh varian priyayi, antara lain:
1)
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang baik dan buruk, kebahagiaan dan
ketidakbahagiaan saling bergantung secara inheren serta tak bisa dipisahkan.
Tak seorang pun bisa bahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang
waktu, tetapi terus menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari,
dari jam ke jam, menit ke menit. Variasi ini sama untuk semua perasaan cinta, benci,
takut dan sebagainya. Selanjutnya tujuan hidup bukanlah untuk memaksimalkan
perasaan yang positif dan meminimalkan yang negatif,
yakni pengejaran kebahagiaaan yang pada hakikatnya tidak mungkin, sebab
maksimalisasi sebuah perasaan juga mengandung maksimalisasi perasaan yang
sebaliknya. Maka yang menjadi tujuan adalah meminimalkan semua
nafsu sedapat mungkin, membungkam semua itu untuk mengerti perasaan yang lebih
benar, yang terletak dibaliknya. Yang menjadi tujuan adalah tentrem ing
manah, kedamaian (ketenangan, ketentraman) di dalam hati (tempat
kedudukan emosi).
2)
Di
bawah atau dibalik perasaan manusiawi yang kasar ada makna perasaan dasar yang
murni, rasa yang pada saat bersamaan merupakan diri sejati seorang individu
(aku) dan manifestasi Tuhan dalam diri individu itu. Kebenaran keagamaan yang
dasar untuk seseorang mistikus priyayi terletak dalam persamaan: rasa = aku =
Gusti.
3)
Tujuan
manusia adalah untuk tahu atau merasakan rasa tertinggi ini dalam dirinya.
Prestasi demikian membawa kekuatan spiritual, sebuah kekuatan yang bisa
digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal
duniawi.hanya ada sedikit perhatian terhadap ganjaran diluar dunia ini.
Sepanjang hal semacam itu mungkin, ini merupakan mistimisme yang bersifat
duniawi.
4)
Untuk
memperoleh pengetahuan tentang rasa tertinggi ini, orang harus memiliki
kemurnian kehendak, harus memusatkan kehidupan batin sepenuhnya untuk mencapai
tujuan tunggal ini, mengintensifkan dan memusatkan semua sumber-sumber
spiritualnya pada satu titik kecil, seperti kalau orang memusatkan sinar
matahari melalui kaca pembesar untuk menghasilkan panas maksimum pada satu
titik. Alat utama untuk memperoleh kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya
seperti ini adalah:
a)
Penumpulan
kehidupan instingtif seseorang, mengangkat diri di atas kebutuhan fisiologis
sehari-hari.
b)
Disiplin
dalam penarikan diri dari minat duniawi untuk jangka waktu lama atau sebentar
dan pemusatan terhadap hal hal yang dalam.
Yang paling penting diantara disiplin instingtif adalah puasa,
bergadang dan abstensi seksual. Penarikan diri sementara dari minat kepada
dunia lahir disebut semadi atau dalam bentuknya yang paling intensif yang tak
pernah dipraktikkan sekarang,tapi yang terdiri atas duduk lurus berdiam diri
secara mutlak dan menggosongkan kehidupan dalam kita dari semua isi duniawi
sejauh mungkin.
5)
Selain
disiplin spiritual dan meditasi, studi empiris terhadap kehidupan emosional,
sebuah psikologi metafisik juga memunculkan pengertian serta pengalaman dan
dianggap sebagai teori yang berkaitan dengan praktik berpuasa serta kewajiban
lainnya. Satu rangkaian variasi dari beberapa sekte mistik, setidaknya di Mojokuto
tampaknya terletak disepanjang kontinum ini sesuai dengan titik berat yang
mereka berikan terhadap pengendalian naluri serta meditasi disatu pihak dan
refleksi serta analisis dipihak lain, tetapi tak satu pun mengabaikan salah
satu dari keduanyakarena keduanya mendukung dan memperkuat satu sama lain.
6)
Karena
orang berbeda-beda dalam kesanggupannya melaksanakan disiplin spiritual itu (dan
sekarang ini tak seorangpun memiliki kemampuan sebaik orang-orang
dizaman dahulu) untuk waktu yang lama, mereka mampu berpuasa, tidak tidur dan
bermeditasi dan berbeda-beda pula dalam kesanggupannya melakukan analisis sistematik
tentang pengalaman dalam (atau memahami sebuah analisis yang sudah dilakukan
seorang guru terkenal) maka mungkinlah untuk meletakkan orang pada tingkatan
yang berbeda-beda menurut kesanggupan dan prestasi spiritualnya, sebuah
penggolongan yang menimbulkan sistem guru murid, dimana seorang guru yang maju mengajar
kepada murid yang kurang maju, sedangkan ia sendiri merupakan murid dari guru
yang lebih maju lagi.
7)
Pada
tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua orang adalah satu dan sama.
Tidak ada individualitas, karena rasa aku dan Gustiadalah objek abadi yang sama
dalam semua orang, walaupun pada tingkatan pengalaman sehari-hari
individu-individu dan bangsa- bangsa dapat
dikatakan memiliki kedirian yang berbeda dan perasaan yang berbeda pula
(sekalipun bahkan disini ada sebuah unsur bersama yang penting) mereka pada
dasarnya sama. Kombinasi pengertian ini dengan ide mengenai hirarki yang
didasarkan atas prestasi rohaniah menimbulkan sebuah
etika yang menganjurkan keterlibatan yang terus meningkat dalam merasakan
perasaan orang lain, dimulai dari keluarga sendiri,lalu para tetangga, desa,
distrik dan Negara sampai keseluruh dunia (hanya beberapa orang suci saja, Gadhi,
Isa, Muhammad yang dianggap telah mencapai simpati universal seperti itu) dan
sebuah pandangan organicfeudal tentang organisasi sosial,
dimana individu serta kelompok mempunyai tempat dimasyarakat sesuai dengan
anggapan tentang kesanggupan rohaniah mereka.
8)
Karena
tujuan semua manusia seharusnya dan praktik-praktiknya
hanyalah alat untuk mencapai tujuan itu dan hanya baik sepanjang semua itu bisa
membawa kesana. Ini menimbulkan pandangan yang relativistic terhadap sistem–sistem
seperti itu, dimana beberapa sistem dianggap memang baik untuk beberapa orang
dan yang lain baik bagi orang-orang lain serta semuanya memiliki beberapa
kebaikan untuk seseorang, dengan demikian toleransi mutlak itu diperintahkan,
meskipun tidak selalu dipraktikkan dengan sempurna.
4.
Kesimpulan
Clifford Geertz
menyimpulkan bahwa ada tiga varian keagamaan di Mojokuto, yaitu Abangan,
Santri dan Priyayi. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa agama
tidak hanya memainkan peran yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja
dalam masyarakat, tetapi juga memainkan peran memecahkan satu sama lain. Hal ini
mencerminkan perimbngan antara kekuatan integratif serta disintegratif yang ada
dalam tiap sistem sosial.
Adapun hal-hal
yang mempertajam konflik antara lain:
a.
Konflik ideologis yang hakiki karena ketidaksenangan terhadap
nilai-nilai kelompok lain.
b.
Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang
cenderung memaksakan adanya kontak di antara individu-individu serta
kelompok-kelompok yang dulunya secara sosial sedikit banyak terpisah.
c.
Perjuangan kekuasaan politik yang meningkat dengan tajam untuk
mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, yang cenderung
mempertajam perbedaan agama dengan kepentingan politik.
d.
Kebutuhan akan kambinghitam untuk memusatkan ketegangan yang
dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang cepat.
Sedangkan hal-hal yang meredakan konflik antara lain:
a.
Perasaan berkebudayaan satu, termasuk semakin pentingnya
nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau
bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya.
b.
Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung,
murni dan sederhana dalam bentuk-bentuk sosial, melainkan dalam banyak cara
yang berliku-liku, sehingga komitmen keagamaan serta komitmen lainnya – kepada
kelas, tetangga dan sebagainya – cenderung seimbang serta muncul berbagai
individu dan kelompok “tipe campuran”, yang bisa memainkan peran perantara.
c.
Toleransi umum yang didasarkan atas “relativisme” kontekstual yang
menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan
demikian memperkecil “misionisasi”.
d.
Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk
integrasi sosial yang pluralistik dan non-sinkretis, dimana orang yang berasal
dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul
dengan cukup baik satu sama lain serta menjaga agar masyarakat tetap
berfungsi.
E.
Manfaat Penelitian
Menurut
Parsudi Suparlan, arti penting karya Geertz ini adalah sumbangannya kepada
pengetahuan kita mengenai sistem-sistem simbol. Yaitu, bagaimana hubungan
antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol; serta bagaimana para anggota
masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara
mengorganisasikan dan memanifestasikan simbol-simbol. Sehingga,
perbedaan-perbedaan yang tampak antara struktur-struktur sosial yang ada dalam
masyarakat hanya bersifat komplementer.[10]
Selain
itu ada pelajaran yang sangat berharga dengan membedah buku Geertz ini, yaitu
pendekatan antropologinya yang khas disertai sisi-sisi etnografi yang bersifat
deskriptif. Dari situ kita akan mengetahui pranata-pranata sosial yang secara
alami berkembang di Jawa, yang kemudian oleh Geertz dibagi menjadi tiga yaitu santri,
priyayi, dan abangan. Dan uniknya ketiga golongan itu masih
menyerap tradisi Jawa.
F.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
1.
Kelebihan
Menurut kami
kelebihan bukuAgama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawayang ditulis oleh Clifford Geertz ini adalah disertakannya atau ditulisnyahasil
wawancara peneliti dengan berbagai informan dalam buku tersebut. Karena hal demikian
merupakan penguat dalam penelitian ilmiah.
Kelebihan
berikutnya adalah Clifford Geertz memberikan deskripsi realitas sosial
keagamaan yang berangkat dari studi-studi empirik dengan sangat lengkap.
2.
Kekurangan
Menurut Prof.
Bachtiar, penggunaan istilah abangan, santri dan priyayi
untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah
tepat. Sebab ketiganya tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama, abangan
dan santri merupakan penggolongan yang dibuat berdasarkan tingkat
ketaatan dalam beribadah sementara priyayi merupakan suatu penggolongan
berdasarkan tingkat sosial.[11]
Adapun menurut
Zaini Muhtarom dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Santri dan Abangan
di Jawa" menjelaskan bahwa pengklasifikasian orang Jawa menjadi abangan,
santri dan priyayi sebagaimana yang dilukiskan Clifford Geertz
mengacaukan dan menyesatkan sebab tidak didasarkan pada kriteria yang
konsekuen. Ia mengacaukan dua pembagian yang termasuk sususan yang berlainan,
serta mencampuradukkan pembagian horizontal dan vertikal, sementara ia
melupakan perbedaan antara stratifikasi horizontal dan vertikal dalam
masyarakat Jawa. Dengan merujuk pada stratifikasi pola Kuntjaraningkrat,
Muhtarom menyebutkan bahwa istilah santri dan abangan telah
menunjukkan dua varian religius dalam kebudaayaan Jawa, sementara istilah priyayi
tidak menunjukkan tradisi religius apapun juga.[12]
Berkaitan
dengan kekurangan buku ini, kami juga sependapat dengan Prof. Bachtiar dan
Zaini Muhtarom karena fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa sebagian priyayi
adalah abangan dan sebagiannya (priyayi) lagi adalah santri. Geertz
juga menjelaskan dalam bukunya bahwa status priyayi itu bisa didapatkan
oleh abangan dan santri melalui prestasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Yatimin. StudiIslamKontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.
Ali Abdul Halim Mahmud, dkk. TradisiBaru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001.
Geertz, Clifford. The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin
dan Bur Rasuanto dengan judul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa, Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran
Clifford Geertz,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1
(2013).
Nata, Abuddin. Metodologi
Studi Islam, Cet:XXI, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
[1]Mahli Zainudin
Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 81-82.
[3] Mahli Zainudin
Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 82.
[4]Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Cet:XXI, Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 397-398.
[5] Ali Abdul
Halim Mahmud, dkk. TradisiBaru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 180.
[6] Yatimin
Abdullah, StudiIslamKontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 67.
[7] Abuddin Nata, Metodologi
Studi..., hlm. 35.
[9] Yatimin
Abdullah, StudiIslam..., hlm. 67.
[10] Clifford
Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto
dengan judul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa,
(Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 561.
[11] Abuddin Nata, Metodologi
Studi..., hlm.396-397.
[12] Mahli Zainudin
Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 90.