Selasa, 05 Februari 2019

Bangsal Menggawe; Sebuah catatan pribadi #2



Kamis, 31 Januari 2019 setelah berdiskusi semalaman bersama kawan-kawan pasir putih mengenai persiapan Bangsal Menggawe, pagi-pagi sekali, beberapa kawan-kawan mengunjungi pawang rinjani untuk mengambil bambu dan atap yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan dapur. Oka, Izom dan Oji boncengan tiga memakai motor Thunder berwarna biru. Sedang saya membonceng Hatif. Sekitar 50 menit perjalanan, kami pun sampai di barak hijau markas pawang rinjani. Seperti pengalaman sebelum-sebelumnya, markas pawang rinjani masih kental dengan aroma hutan. Kayu-kayu sengon besar berdiri tegak diatas tanah yang luasnya kurang lebih 10 are. Kata ciki, sewaktu memberikan materi tentang konservasi air, bahwa pohon itu bisa menampung air dengan jumlah besar dan itu kemudian diolah menjadi oksigen. Makanya, satu pohon yang kita tanam akan menghidupi dua nyawa manusia. Karena Lombok dalam beberapa minggu ini diguyur hujan besar dan angin kencang, maka pemandangan halaman pawang rinjani terlihat sedikit berantakan. Daun dan ranting pohon berserakan tidak karuan. Lima menit setelah kedatangan kami berlima di pawang rinjani, Gazali dan Anggra pun datang. Tidak ada obrolan waktu itu, setiba disana, Oka langsung mengarahkan semua kawan-kawan untuk mengangkat bambu dan atap ke atas mobil.
Bambu dan atap sudah siap dibawa ke kantor pasir putih. Waktu pulang, saya dibonceng Oka karena Hatif menemani supir pick up yang tidak tau arah ke pasir putih. Setiba di pemenang, bambu dan atap itu diturunkan dipinggir jalan depan SD karena pick up tidak bisa masuk ke halaman kantor pasir putih. setelah beberapa menit istirahat, kawan-kawan pun mulai mengangkat bambu dan atap menuju halaman kantor. Ada 30 biji bambu yang kami bawa dari pawang rinjani, itupun tidak semuanya terpakai karena ada bambu yang bengkok dan tidak layak pakai. Sebelum sore, semua bambu dan atap sudah berhasil diangkat. Tidak seperti biasanya, sore itu cuaca sangat cerah. Padahal sebelumnya, sore selalu diguyur hujan. Saat hujan turun, kantor pasir putih selalu kebanjiran karena tidak kuatnya tanah menyerap air. Sore itu, saya, oji, izom dan ciki merampungkan kerangka dapur sementara Anggra, Siba dan Gozali menuju rumah Maestro Rudat pak Zakaria untuk membahas senam rudat yang akan dijadikan bagian dari kegiatan bangsal menggawe.
Dimulai dengan mengukur luas lahan yang akan dijadikan dapur kemudian menggali lubang sebagai tiang dapur dan terakhir menaruh talang-talang yang berguna sebagai penopang atap dapur. Luas dapur yang kami buat kurang lebih 4x3 dengan luas 4 meter dan panjang 3 meter. Untuk tiang dapur, izom dan saya menggali 4 lubang yang kemudian disetiap lubang itu ditaruhkan bambu sebagai tiang yang akan menopang kuatnya dapur. Bambu yang dipilih menjadi tiang itu pun harus yang lebih besar dan lebih kuat. Tiang didepan itu haruslah lebih tinggi dibanding tiang yang dibelakang karena jika hujan turun, maka air hujan akan mengalir dari tiang belakang dikarenakan posisinya lebih rendah dibanding tiang depan. Kemudian setelah tiang sudah jadi, oji kemudian memaku beberapa talang. Sembari memaku, sesekali ciki mengajak kami untuk bercanda. Ciki yang dikenal dengan bahasa perasaannya, sore itu terlihat sangat cair dan lepas. Sesekali dia meledek izom yang kadang-kadang tidak bisa memaku. Lalu, setelah tiang dan beberapa talangnya sudah jadi, kami pun beristirahat dan ngopi ditaman bundar asap. Saya menyebutnya taman bundar asap karena ditaman itu ada bundaran yang hampir setiap sore-jika tidak hujan- dan malam selalu dibakar kayu. Adalah ciki yang mengawali ritual pembakaran itu. Katanya, asap bisa menunda hujan turun. Entah teori apa yang dia baca, yang jelas, ciki selalu punya alasan melalui perspektif kebudayaan. Ditengah-tengah istirahat kami, 20 menit sebelum azan Magrib tiba, saya duduk disampingnya ciki. Dia kemudian memulai obrolan pendek dengan mengatakan “bahwa antara agama dan budaya itu saling berkaitan”. Bagaimana mungkin agama itu bisa berkembang dan meluas tanpa adanya peran kebudayaan? Waktu itu, saya hanya bisa mengangguk dan mengiyakan semua ucapannya. Bagi saya, memang benar apa yang diucapkan ciki bahwa agama dan kebudayaan seharusnya saling kait mengkait satu sama lain. Tentunya, budaya yang kemudian tidak keluar dari norma-norma agama, budaya yang bisa diterima oleh akal sehat manusia bukan sebaliknya.
Azan magrib terdengar, cuaca berubah agak sedikit dingin. Belum usai ciki berbicara, saya izin terlebih dahulu untuk mengerjakan shalat magrib.Kamar mandi pasir putih pasca gempa sangatlah sederhana. Hanya ada ember dan selang. Kamar mandi darurat yang terbuat dari triplek dan usuk itu mempunyai dua ruangan. Didepan kamar mandi, ada bekas jejak laboratorium sekolah mendea-sekolah pertanian- yang digagas oleh pasir putih, aksara tani dan sayuran kita. Sementara didepan sebelah barat kamar mandi, ada taman sayur pasir putih. Ada banyak sayuran yang ditanam disana, komak, tangon, pakcoy, terong, tomat, kangkung dan sebagainya. Taman sayur itu cukup mengirit perekonomian kawan-kawan pasir putih selama ini.
Setelah shalat magrib, saya membuka laptop dan membuat beberapa surat untuk persiapan bangsal menggawe. Malam itu, hanya dua surat yang diperlukan untuk besok. Pertama surat undangan tournament bangsal cup, kedua surat izin lokasi ke kepala desa pemenang timur. Surat undangan tournament, paginya, jum’at 1 Februari 2019 dihantar oleh Rajib-ketua panitia bangsal cup- ditemani saudara Izom. Sementara saya, Ipeh, Oka dan Anggra menuju kantor desa Pemenang Timur untuk mengantar surat izin penggunaan lokasi. Surat izin penggunaan lokasi itu dibuat karena sebelumnya kami mendengar dari kepala dusun karang petaq-pak halawi- bahwa lahan yang akan dijadikan lapangan itu milik pemda Lombok Utara. Beliau –pak Halawi- kemudian menyarankan kami untuk membuat surat izin penggunaan lokasi yang ditujukan ke kantor desa dan tembusannya langsung ke Camat Pemenang.
Setiba di kantor desa Pemenang Timur, lagi-lagi kami bertemu dengan pak Halawi. Seperti biasa, gaya pak kadus muda ini selalu ceria dan banyak pertanyaan. Tidak ada kepala desa yang kami temukan namun pak sekdes-sekretaris desa- mau menemui kami dan sedikit berdialog mengenai bangsal cup. Surat izin itu kemudian dibaca oleh pak sekdes dan beliau pun langsung menuliskan surat balasan untuk diberikan ke kapolsek pemenang dan menjadi pegangan kami. Ruangan yang kami tempati itu dipenuhi sembakau-sembakau sumbangan gempa. Saya heran, kenapa masih ada banyak sembakau di kantor desa Pemenang. Keheranan itu pun saya utarakan ke Oka untuk ditanyakan langsung nanti ke pak sekdes atau bapak-bapak kadus. Karena waktu itu, pak halawi dan pak sekdes meninggalkan kami guna membuat surat balasan dan menangani urusan-urusan lain.
Setelah pak halawi datang sembari membawa surat balasan itu, Oka kemudian mempertanyakan banyaknya sembakau yang belum tersalurkan itu. Tidak ada jawaban dari pak halawi kecuali senyuman yang tergoret malu dari bibirnya. Kami tidak ingin memperpanjang urusan ini, akhirnya, Oka menanyakan hal lain. “Kenapa epe-anda- tidak merokok, pak?” Tanya Oka. “saya dulu merokok, pas umur 15 tahun. Tapi sempat sakit akibat rokok makanya saya berhenti merokok sampai sekarang” jawab pak Halawy sembari memukul-mukul ringan pundak si Oka. Setelah surat balasan itu diberikan oleh Pak Halawi, kami pun meminta izin untuk pulang karena akan menyiapkan beberapa hal mengenai bangsal menggawe.
Keluar dari kantor desa, Ipeh kemudian memberitahu kami bahwa Dani dan Zikri sudah sampai bangsal, keberangkatan dari Jakarta menuju Lombok. Kedatangan kawan-kawan Jakarta ini untuk ikut terlibat di kegiatan Bangsal Menggawe. Saya dan Oka pun bergegas menuju bangsal sementara Ipeh dan Anggra terpaksa harus jalan kaki dari kantor desa Pemenang Timur sampai pasir putih. Setiba di Bangsal, tidak ada tanda-tanda kedatangan si Zikri dan Hamdani. Saya dan Oka lumayan lama menunggu kabar dari mereka. Kemudian disela-sela menunggu, datanglah pula bang Imron dengan tujuan yang sama. Sekitar kurang lebih 50 menit kami menunggu, Dani dan Zikri tiba di pelabuhan bangsal. Zikri dibonceng bang Imron sementara Dani dibonceng Oka. Saya waktu itu hanya membawa tasnya zikri yang berwarna hijau. Setelah jum’at barulah kemudian si Maria, Datuak dan Duha tiba di Pasir putih.
Sore harinya, kami kemudian melanjutkan kegiatan latihan senam rudat yang dipimpin langsung oleh pak Zakaria. Pak Zakaria adalah Maestro rudat yang berasal dari Terengan, Lombok Utara. Latihan itu berlangsung dihalaman pasir putih. Sementara yang lain sibuk latihan senam rudat, disebelah kiri, bang ciki, oji dan amaq cung sedang sibuk memasang atap untuk dapur. Sore itu, ada dua kegiatan dalam satu lokasi. Latihan senam rudat dan pemasangan atap dapur. Belum juga selesai latihan senam rudat, Imran menyuruh saya untuk menjemput Ipeh yang waktu itu sedang menjaga Zikri di puskesmas. Saya dan Imran pun berangkat menuju puskesmas, setiba disana, Ipeh mengurus administrasi dan kemudian kami pulang. Zikri dengan Imran sementara saya dengan Ipeh.
Setiba di pasir putih, latihan senam sudah selesai. Sementara dapur sudah akan jadi. Tinggal beberapa atap yang belum terpasang. Sembari menunggu magrib, saya melihat cara amaq Cung memasang atap dapur. Atap dapur yang amaq Cung pasang itu terbuat dari daun kelapa yang diulat-dirangkai-. Mula-mula, atap itu disusun rapi sampai tidak memungkinkan air masuk. Setelah beberapa atap disusun, maka mulailah memaku atap yang sudah dianggap rapi. Paku yang digunakan itu pun tidak besar-besar sekali, karena jika terlalu besar, maka atap itu akan robek dan bisa jadi, bambu yang menjadi talangnya juga robek. Setelah beberapa menit memperhatikan, atap dapur itu pun jadi, tinggal membuat pagarnya yang berguna menghalangi air yang datang dari samping-kampes-.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bangsal Menggawe; sebuah catatan pribadi #4

Sudah cukup lama saya tidak lagi menggeluti sepak bola. Terakhir, seingatku, dua tahun berturut-turut menjadi juara ke tiga tingkat kecama...