Rabu, 30 Januari 2019

Bangsal Menggawe; Sebuah catatan pribadi



Rabu, 30 Januari 2019 di kantor pasir putih, tepat didepan Gor bulutangkis Pemenang, kawan-kawan pasir putih dan tim kerja “Bangsal Menggawe”  kembali duduk rapat koordinasi ditaman bundar depan Campcraft ; perumahan yang terbuat dari kayu dengan model segitiga. Taman bundar hasil sentuhan tangan bang pramoehardi dan kawan-kawan Pawang Rinjani ini kemudian menjadi penentu dari rangkaian kegiatan ‘Bangsal Menggawe 2019’ karena disanalah ide dan gagasan kawan-kawan Pasir Putih dan partisipan Bangsal Menggawe dibicarakan dan dibingkai. Bangsal Menggawe bagi masyarakat Lombok Utara, khususnya warga Pemenang, adalah  merupakan kegiatan yang menjadi wadah warga mengekspresikan hak-hak kultural mereka. Sebagai wadah bagi masyarakat, maka keberadaan Bangsal Menggawe pun tidak bisa terlepaskan dari keberadaan warga Pemenang. Oleh karena itu, Bangsal Menggawe bukanlah ajang pesta rakyat yang tidak memiliki value melainkan pesta rakyat yang berkeadaban dan berperadaban.
Tahun ini, Pasir Putih mengangkat “Museum Tetangga” sebagai tema besar pagelaran Bangsal Menggawe yang ke tiga. Tema ‘Museum Tetangga’ ini diniatkan sebagai respon terhadap persoalan sosial yang sempat retak pasca gempa yang terjadi di Lombok. Kata siba “Tetangga adalah orang menyebalkan pertama yang kita temui sekaligus menjadi penolong pertama ketika kita membutuhkan bantuan”. Dua peran kontras yang dimiliki tetangga itu kemudian patut dijadikan kajian dengan pendekatan seni budaya untuk menelisik keberadaan masyarakat dan pengaruhnya dalam kehidupan.
Sebelum memulai obrolan, pasir putih kedatangan tamu salah seorang musisi muda dan musisi senior, Yuga dan kang Ake. Suasana terasa mencair saat kang Ake dan Yuga sahut menyahut saling membagi cerita tentang pengalaman hidup. Saat keduanya memutuskan untuk beranjak dari taman bundar, Muhammad Rusli pun memulai rapat koordinasi persiapan Bangsal Menggawe 2019. Rapat malam ini terasa lebih hidup karena salah satu seniman utusan Forum Lenteng sedari siang tadi sudah sampai di pasir putih dan mengikuti rapat koordinasi, namanya Anggra. Di Bangsal Menggawe ini, Anggra akan menulis narasi-narasi sederhana yang berkaitan dengan proses Bangsal Menggawe. Dalam sepatah dua patah kata sambutannya, Anggra menginginkan adanya teman kerja menulis. Sebetulnya, ijtihad dan pakhrul yani yang akan mendampingi Anggra namun karena keduanya tidak ikut rapat maka, belum dipastikan siapa yang akan mendampinginya.
Akan banyak kegiatan di Bangsal Menggawe ke tiga ini, salah satunya adalah Bangsal Cup. Bangsal Cup adalah ajang penseleksian pemain sepak bola Pemenang. Untuk tahun ini, Bangsal Cup ditangani oleh Rajib salah satu pesepak bola pantai yang berasal dari Gili Meno. Semalam, Rajib memaparkan beberapa kendala penyelenggaraan Bangsal Cup salah satunya adalah tentang lapangan. Ada dua opsi yang kemudian ditawarkan oleh Oka untuk lapangan; pertama di pesisir pantai, kedua di sawah dekat kantor KUA Bangsal.
Sebelum malam rapat koordinasi ini, siangnya itu, saya, Ipeh dan Oka sudah mengunjungi kadus Karang Petaq, Desa Pemenang Timur untuk mencari tahu pemilik dari sawah yang berada disamping kantor KUA itu. Setelah bertemu dengan kadus Karang Petak, kami mendapatkan kabar bahwa sawah itu ternyata milik pemerintah daerah Lombok Utara. Sambil mengorek informasi, pak kadus yang masih tergolong muda itu pun kemudian banyak bercerita tentang pengalamannya menjadi kepala dusun diusia yang relatif masih muda. Setelah banyak bercerita, kami pun kemudian memutuskan untuk pamitan pulang karena harus menyelesaikan persiapan Bangsal Menggawe.
pesisir pantai bangsal yang diharapkan menjadi lapangan sepak bola ternyata awalnya dianggap tidak masuk dalam kriteria lapangan yang ideal karena selain adanya banyak sampah, sekitaran pesisir pantai Bangsal ternyata mengalami kerusakan yang diakibatkan karena hujan dan angin kencang yang dalam beberapa minggu ini terjadi di Lombok. Setelah menelusuri beberapa lokasi pesisir, akhirnya diputuskanlah depan vila menjadi lapangan sepak bola pantai. Namun, untuk mengantisipasi terjadinya ombak besar yang bisa mengakibatkan lapangan di pesisir pantai itu tidak layak pakai maka, Muhammad Rusli yang biasa dipanggil Oka selaku direktur Bangsal Menggawe menyarankan agar sawah yang berada disamping kantor KUA itu dijadikan lapangan persiapan.
Malam itu dingin lumayan menyengat, setelah banyak ngobrol, akhirnya rapat itu diakhiri dengan beberapa kesepakatan. Pertama, menyiapkan surat undangan untuk kepanitiaan dan surat izin lokasi. Kedua, mengambil bambu di barak hijau markas Pawang Rinjani sebagai bahan pembuatan dapur dan tempat duduk.




Jumat, 04 Januari 2019

Sekolah mendea : Belajar ke warga.

Materi sekolah mendea hari ini ialah analisis problematika pertanian. Muhammad Sibawaihi yang akrab dipanggil Siba dari Minggu yang lalu menyuruh semua partisipan untuk turun kemasyarakat (petani atau yang berhubungan dengan itu) guna mewawancarai mereka tentang persoalan yang selama ini mereka rasakan. Minggu lalu, kami mewancarai pak Herman dan haji sahuni. Pak Herman yang waktu itu kebetulan sedang bertamu ke rumah H. Sahuni menceritakan banyak hal tentang pengalamannya bergelut dengan pertanian. Sebelum bercerita, tentu, seperti biasanya kami disuguhkan kacang, rokok dan kopi oleh tuan rumah(h.sahuni). Sembari menikmati kacang dan pemandangan sapi yang berkeliaran disamping kami, pak Herman kemudian memulai ceritanya.

"Dulu, sekitar tahun 2006-2007 saya pernah menyewa lahan sebesar 35 are yang saya gunakan untuk menanam padi dan kacang. Saya bertani tidak untuk dijual melainkan untuk konsumsi keluarga" katanya sembari mengelupas kulit kacang yang memanggil tangan saya untuk ikut mengelupasnya.

"Lalu, apa yang membuat bapak berhenti bertani?" Tanya Ibnu dengan sedikit senyum khasnya sembari menyeruput kopi hitam.

"Permasalahan yang saya rasakan-dan mungkin dirasakan oleh petani-petani yang lain- ialah tersendatnya sistem irigasi, banyaknya bangunan disekitaran sawah yang membuat petani harus menjual tanahnya demi terwujudnya pembangunan dan terakhir ialah banyaknya hewan ternak yang berkeliaran disini" dia menjawab dengan memelas wajah.

Tentu, selain masalah pertanian, h.sahuni banyak cerita tentang masa-masa dipondok-itu tidak saya tulis-. Seusai diceritakan, kami kemudian sedikit memahami permasalahan yang dihadapi oleh petani di dusun karang subagan ini yaitu irigasi.

Keyakinan kami tentang masalah irigasi ini semakin menguat setelah tadi pagi kembali menemui salah seorang petani yang berasal dari dusun tebango namanya pak Musti Alam. Beliau berumur 80 tahun dan setengah umurnya dihabiskan menjadi petani. Pak Musti alam menuturkan bahwa, persoalan mendasar pertanian khususnya di dusun karang subagan, kecamatan pemenang ialah kekurangan air. Kekurangan itu disebabkan karena saluran irigasi tersendat diakibatkan oleh penumpukan sampah dan pembagian air yang tidak merata. Persoalan sampah memang menjadi persoalan yang menghantui semua desa, daerah bahkan dunia. Tidak mudah menanggulangi isu sampah ini jika belum terbangun kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat untuk sedikit menanggulangi penumpukan sampah.

Selain sampah, yang menarik untuk dibahas ialah ketidak merataan pembagian air. Kata pak Musti Alam, sebetulnya yang mengatur tentang pembagian air ini ialah pekasih namun karena pekasih tidak berjalan maka, petani yang didepan seenaknya mengambil air untuk lahan mereka tanpa memikirkan nasip petani yang berada di belakang.

Hujan kemudian turun setitik-titik, pertemuan itu diakhiri dengan pesan pak Musti Alam bahwa menjadi petani adalah profesi saya sejak dewasa dan dari profesi ini saya menikmati nasi tanpa harus membeli.

Kamis, 03 Januari 2019

Sekolah mendea: sejarah pertanian dan revolusi hijau

pertemuan Sekolah Mendea yang kedua, Afifah Farida yang akrab dengan panggilan si Ipeh menyampaikan materi tentang sejarah pertanian dan pengenalan tentang tanaman. Seperti pertemuan pertama, suasana belajar dalam kelas sangat lepas. Roko’ dan kopi selalu menemani setiap obrolan kecil kami. Si Ipeh selalu menekankan kesetaraan antara guru dan murid. Kesetaraan berpendapat, memberi masukan sampai dengan bercerita. Ipeh, perempuan kelahiran Pekanbaru itu kemudian menyampaikan pada kami tentang sejarah munculnya pertanian.

Awal kisah, manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna. Dia diberikan akal yang kemudian bisa menjadi media manusia untuk memilah-milah antara yang baik dan yang buruk. Manusia kemudian diberikan kekuatan untuk mengekspresikan perasaan mereka secara sempurna. Sehingga, untuk mempertahankan hidup, manusia kemudian berburu; makanan dan binatang. Dari hasil berburu binatang dan biji-bijian itu, lahirlah kemudian pemikiran untuk mengembangbiakan binatang dan tumbuhan. Bisa dikatakan bahwa, sejarah pertanian itu latar belakangnya mirip dengan sejarah peternakan. Biji-bijian yang diperoleh kemudian diolah oleh kaum perempuan. Perempuan mulai bereksperimen menanam biji-bijian yang akan menjadi cikal bakal ilmu pertanian. Peran perempuan kemudian semakin dikesampingkan karena naluri laki-laki yang katanya “menjaga” sedangkan perempuan itu “pengasih” kemudian  mengambil peran perempuan dengan dalih menjaga mereka agar tidak kelelahan mengurus keperluan keluarga dan fokus mengasihi anak-anak.

Dalam sejarah, sekitaran 9000 SM pada zaman Mesoptamia manusia bertani tidak pada lahan yang tetap dikarenakan mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (nomaden). Masa ini boleh dibilang masa domestikasi dan seleksi tumbuhan. Untuk mendapat lahan, manusia menebang hutan. Baru pada sekitaran 8000 SM, manusia bertani lebih lama diladang yang tetap. Lokasi awal yaitu di hilal subur (bulan sabit subur), disekitaran sungai nil, Tigris, Eufrat, Lundus dan Asia Barat. Untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga, manusia kemudian memanfaatkan pekarangan rumah dan barulah muncul kemudian jenis-jenis tanaman yang bernilai ekonomis. Sedangkan pertanian Modern sejatinya manusia temukan sekitaran 4000 SM ditandai dengan penemuan teknologi pertanian awal seperti irigasi dan persilangan. Sejarah pertanian telah memberikan pada kita gambaran yang utuh akan eksistensi petani dari zaman ke zaman. Setidaknya, jika diringkas, ada tiga fase yang dilewati; 1. fase ladang tidak menetap (berpindah), 2. Fase Ladang menetap 3. Fase pertanian modern.

Selain membahas sejarah pertanian, saya merasa perlu membahas juga tentang kata pertanian dari perspektif ilmu bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, pertanian disebut dengan الفلاّح. Kata الفلاّح ini serumpun dengan kata الفلاح (dengan tanpa tasdid). Kedua kata ini hanya dibedakan dengan “lam tasdid” yang menyebabkan makna keduanya sangat terpaut jauh. الفلاّح (dengan tasdid) artinya ‘petani’ sedangkan الفلاح (tanpa tasdid) artinya kemenangan/kesejahteraan. Makna kemenangan itu biasa kita jumpai ketika membaca arti dari redaksi azan حيّ على الفلاح artinya: ‘marilah menuju kemenangan’. Kata الفلاّح yang berarti petani itu diserap dari akar kata الفلح yang mempunyai salah satu makna “membelah tanah”. Jadi, petani jika ditinjau dari ilmu bahasa arab itu ialah seorang yang menggarap tanah untuk ditanami biji-bijian. Profesi bertani sejatinya adalah profesi yang harus digeluti oleh setiap individu karena itu demi memenuhi kebutuhan hidup mereka agar lebih sejahtera. Sejatinya, kegiatan bertani itu, selain untuk memenuhi kebutuhan pangan juga untuk menjaga keseimbangan alam. Sehinga bertani tidak hanya soal memenuhi makan tapi melampaui itu.

Suasana kelas masih sama, lepas dan asik. Ditengah penyampaian materi sejarah pertanian, Ipeh sempat menyinggung masalah “Revolusi Hijau (green revolution)”. Saya pribadi yang berangkat dari anak bahasa Arab sejujurnya, baru pertama kali mendengar istilah revolusi hijau. Kalau ditelisik dari bahasanya, awalnya, saya mengira bahwa revolusi hijau ini semacam gerakan perubahan penghijauan yang memakai baju hijau. Setelah dijelaskan lebih detail, ternyata revolusi hijau adalah gerakan yang berhajat untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia. Adalah si Thomas Robert Malthus (1766-1834) yang pertama kali memperkenalkan gagasan tentang revolusi hijau. Malthus meyakini bahwa perkembangan manusia tidak sejalan dengan perkembangan produksi pangan. Oleh karena itu, kemiskinan pun melanda beberapa Negara-negara berkembang semisal Filipina, Thailand, india dan Indonesia. Manusia sebagai makhluk paripurna dan paling istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, mengalami perkembangan yang begitu cepat. Perkembangan manusia yang begitu cepat kemudian tidak diikuti oleh produksi pangan secara kuantitas. Secara sederhana, dalam satu keluarga saja  bisa terdiri sekurang-kurangnya dari 3 jiwa sampai 15 jiwa Tentunya, semua individu dalam keluarga tersebut membutuhkan makan sementara jumlah produksi pangan selalu bergerak seperti deret aritmatika sedangkan manusia berkembang seperti deret geometri. Dalam bahasa yang lebih sederhana, produksi pangan selalu dibawah laju perkembangan jumlah manusia.

Mengutip pendapat Tejoyuwono Notohadiprawiro dalam makalahnya “Revolusi Hijau Dan Konservasi Tanah” beliau mengungkapkan bahwa, menjelang tutup abad XX keadaan pangan dunia sangat memperhatinkan. Produksi pangan tidak merata dan lebih dikuasai oleh negara-negara maju. Hampir seperempat penduduk dunia setiap hari berangkat tidur dengan perut kosong, sedangkan seperdelapan manusia menguasai hampir 80% kekayaan dunia. Karena melihat fenomena semacam ini, gagasan tentang revolusi hijau kemudian dimunculkan yang dianggap sebagai solusi untuk mengentaskan masalah ketidakmerataan pangan yang dialami oleh negara-negara berkembang.

Saya menangkap bahwa gagasan revolusi hijau ini kemudian menjadi cikal bakal berpindahnya budaya bertani tradisional menuju budaya bertani modern. Budaya bertani modern tidak terlalu menekankan pada lahan yang akan digarap melainkan terus mengembangkan teknologi pertanian yang bisa menjawab persoalan-persoalan terkini mengenai pertanian. Perpindahan budaya bertani dari tradisional ke arah yang lebih modern ini tentunya mempunyai dampak yang positif sekaligus dampak yang negatif terhadap petani secara khusus, masyarakat dan alam. Oleh karena itu, revolusi hijau ini disambut baik oleh sebagian pakar dan dikritisi oleh sebagian pakar lainnya.
Gagasan revolusi hijau ini kemudian menjadi perbincangan hangat diantara beberapa tokoh. Sebagian mereka ada yang mengamini gagasan ini karena meyakini bahwa revolusi hijau ini bisa menjadi strategi yang tepat bagi pengaman pangan (food security).sementara kalangan yang menolak gagasan ini menganggap bahwa revolusi hijau hanya mementingkan terpenuhinya produksi pangan tanpa menimbang kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh kebanyakan zat kimia yang terkandung dalam pupuk, pestisida dan yang lainnya. Dr. Borlaug adalah pencipta varietas unggul gandum. Beliau mengamini revolusi hijau karena menganggap bahwa yang terpenting dalam pertanian ialah peningkatan produksi total nasional yang menyediakan bagi konsumen bahan pangan lebih banyak dan lebih murah.
Von uexkull (1992) dalam makalahnya Tejoyuwono mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk secara keliru bisa merusak lingkungan. Penggunaan nitrogen secara berlebihan juga bisa mencemarkan air tanah. Penggunaan nitrogen yang timpang, akan mempercepat pengurasan unsur hara lain dalam tanah dan dapat menyebabkan pemasaman tanah. Penggunaan nitrogen berlebihan dan fosfat secara keliru dapat menimbulkan eutrofikasi badan-badan air.

Jika diamati dari bahasa si Uexkull, dia sesungguhnya ingin mengatakan bahwa revolusi hijau itu sedang membangun pondasi kerusakan ekosistem yang berbahaya dengan banyaknya melibatkan zat kimia yang tidak terkontrol demi percepatan produksi pangan semata dengan dalih mengembangakan ekonomi yang sesungguhnya itu semu.
Dalam bahasan agama, setiap gerakan apapun harus dipikirkan terlebih dahulu kadar kebermanfaatannya pada masyarakat dan sekaligus dampak negatifnya. Tidak bisa dipandang sebelah mata bahwa, keberadaan revolusi hijau ini telah menyumbang pengaruh besar terhadap kemudahan dan percepatan dalam sektor pertanian. Tetapi juga bagaimana mengakali agar ekosistem tetap terjaga karena menjaga ekosistem adalah tugas kita bersama. Solusi yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan menurut Ipeh ialah dengan menciptakan daulat pangan dalam masing-masing keluarga. Artinya, jika setiap keluarga itu mengusahakan untuk memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan bertani maka, setidaknya dia bisa mengurangi beban perekonomian dan lebih mandiri dalam mengelola hasil buminya.

Bangsal Menggawe; sebuah catatan pribadi #4

Sudah cukup lama saya tidak lagi menggeluti sepak bola. Terakhir, seingatku, dua tahun berturut-turut menjadi juara ke tiga tingkat kecama...