Sebelum berbicara tentang transmisi budaya
islam di eropa mari kita ketahui Satu
penjelasan mengenai transmisi pengetahuan ilmiah dari
satu kultur ke kultur lainnya di mana kultur dipahami terutama sebagai suatu
wilayah merupakan satu gambaran mengenai gerakan produk-produk ilmiah; yaitu
berupa pemindahan teks-teks, konsep-konsep, teori-teori, teknik-teknik, dan
seterusnya dari satu kultur tertentu. Karena transmisi seringkali disertai oleh
perubahan tertentu, maka suatu pendekatan kinematik mesti mempertimbangkan
fakta-fakta tertentu transformasi, seperti fakta bahwa teks pada masa kemudian
berbeda secara linguistik dengan teks pada masa awal (terjemahan); atau bahwa
yang terakhir merupakan bentuk yang berbeda (ikhtisar, revisi, pengembangan,
dan seterusnya) dari pertama.[1] Seperti
diketahui bahwa perkembangan tradisi intelektualisme Islam kian menemukan
bentuknya terutama terletak antara abad ke-8 dan ke-13 M. Dalam periode
pertengahan inilah, oleh banyak ahli sejarah memandang dunia Islam sebagai
mengalami "pencerahan intelektual".[2] Tradisi
intelektualisme ini diawali dengan gerakan penerjemahan buku-buku Yunani dan
bangsa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berpusat di Bayt al-Hikmah di
Baghdad. Ilmu-ilmu yang dicakup gerakan penerjemahan ini adalah ilmu
kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi di
samping filsafat dan logika. Yang diterjemahkan adalah karangan-karangan Galinos,
Hipocrates, Ptolomeus, Euclid, Plato, Aristoteles, dan lain-lain.[3] Dan
buku-buku itu di telaah para cendikiawan muslim sehingga mereka mengerti ilmu
yang ada pada saat itu dan semua itu juga berkat dorongan khalifah-khalifah
abbasiyah baik yang berasal dari peradaban Yunani maupun Persia, Mesir dan
dalam batas tertentu juga India.
Dalam mengakses ilmu dan peradaban Yunani,
para cendekiawan Muslim tidak sekadar mencatat dan menerjemahkan karya
tersebut, melainkan mengomentari, memberi notasi, dan mengembangkannya ke dalam
hasil-hasil penelusuran mereka sendiri. Sehingga transmisi ilmu Yunani ke dalam
dunia Islam di sini tidaklah dalam pengertian kinematik semata, tetapi justru
menciptakan paradigma keilmuan yang khas dan tipikal Muslim, dan dengan begitu
mereka berhasil dalam memulai tradisi ilmiah yang baru serta dalam bahasa yang baru
pula. Selanjutnya untuk pengembangan ilmu-ilmu itu didirikanlah
universitas-universitas. Yang termasyhur diantaranya, Universitas Cordoba di
Andalusia (Spanyol Islam), Universitas Al-Azhar di Kairo, dan Universitas
Al-Nizamiyah di Baghdad. Universitas yang disebutkan pertama, dalam
perkembangannya tak sedikit menyertakan orang-orang Nasrani dari Eropa.[4] terutama pada paruh awal abad ke-11guna
mengikuti studi pada universitas dimaksud. Belakangan, universitas ini menjadi salah
satu tempat terpenting dalam transmisi sains dan budaya dari dunia Islam ke
Barat. Dan disanalah banyak orang datang dari berbagai negara menuntut ilmu di
Eropa. Adapun kita akan membahas bagaimana bentuk dari transmisi budaya islam
ke Eropa. Transmisi budaya islam ke Eropa
mempunyai banyak bentuk dan proses yang terjadi, pada masa itu. Sesungguhnya, pengaruh peradaban Muslim
(Abad Pertengahan) jauh lebih luas dibanding "sekadar" peletakan
landasan sains modern. M.M. Sharif, salah seorang pemikir Muslim Pakistan
terkemuka pasca Iqbal seperti dikutip Haidar Bagir menambahkan beberapa
sumbangan lain pemikiran Islam atas pemikiran Barat: pengenalan ilmu-ilmu
sejarah; penyelarasan filsafat dengan agama; penggalakan mistisisme Barat;
peletakan landasan bagi Renaisans di Itali; dan sampai tingkat tertentu
membentuk pemikiran Eropa modern hingga masa Immanuel Kant, bahkan (pada
jurusan tertentu) hingga masa yang lebih belakang.[5] Berikut adalah proses dan bentuk terjadinnya
transmisi budaya islam ke Eropa yaitu melalui perang salib, sicilia, dan
andalusia.
A. MELALUI PERANG SALIB
Siria dan sekitarnya,
seperti diketahui adalah wilayah di mana Islam dan Barat berjumpa dalam bentuk
perang Salib. Perang yang berlangsung antara 1095 sampai 1291 ini, sedikitnya
punya pengaruh terhadap transmisi pemikiran dan sains Islam ke Barat. Kendati
demikian, disadari bila pengaruh perang salib di sini tidaklah begitu intens,
mengingat orang-orang yang datang sebagai pasukan Salib adalah ksatria-ksatria
perang dan bukan ilmuan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sekiranya pun terjadi
transmisi akibat perang salib tetapi bentuknya tak lebih dari peniruan tatacara
hidup sebagai hasil kekaguman Barat dalam hal ini pasukan Salib terhadap
masyarakat Islam yang mereka lihat. Transmisi terlihat terutama pada
kemiliteran, arsitektur, teknologi pertanian, industri, rumah-rumah sakit,
permandian umum, dan dalam batas tertentu juga sastra.
Di samping dua bentuk yang
mengakibatkan terjadinya transmisi pemikiran dan sains Islam ke Barat, tak
sedikit historian melihat bila terdapat pula pengaruh kontak pribadi dalam
proses itu. Pandangan ini berangkat dari satu kenyataan bahwa sejak penaklukan
Siria, Mesir dan Persia oleh ekspedisi-ekspedisi Islam sejak khalifah 'Umar ibn
al-Khattab, tak sedikit orang-orang Kristen di Timur (Bizantium) menjalin
kontak pribadi dengan orang-orang Islam. Karena semangat liberasi, moderasi dan
toleransi yang dimiliki umat Islam, sehingga orang-orang Kristen tidak
menemukan halangan dalam mengikuti kegiatan intelektual dan kebudayaan kaum
Muslim. Tak jarang di antara mereka menjadi tokoh-tokoh penting dalam gerakan
keilmuan Islam yang lahir kemudian. Mereka pula yang kelak banyak membantu
menerjemahkan karya-karya keilmuan Yunani ke dalam bahasa Arab, dan selanjtnya,
terutama pada paruh awal abad ke-11, karya-karya terjemahan berbahasa Arab
itulah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh sarjana-sarjana Barat.[6] Dengan adanya perang salib ini banyak membawa
keuntungan bagi benua Eropa. Perhubungan orang Kristen dengan orang Timur
Tengah memberikan kemjuan dalam berbagai bidang. Ketika kembali ke Eropa
kapal-kapal mereka membawa barang-barang berharga seperti kain tenun sutera,
bejana dari porselin, dan lain-lain. Sedangkan dari jenis tumbuh-tumbuhan yang
dibawa ke Eropa antara lain: sejenis biji-bijian, tanaman padi, pepohonan
jeruk, semangka, bawang putih, tumbuhan obat-obatan, tumbuhan yang mengandung
zat pewarna dan rempah-rempah.
B. MELALUI NEGERI SICILIA
Sebagai titik persentuhan dari dua lapangan kebudayaan, maka pulau Sicilia
teristimewa merupakan alat penghubung untuk meneruskan pengetahuan kuno dan
pengetahuan abad pertengahan. Sebagian rakyatnya terdiri dari elemen Yunani
yang berbahasa Yunani, sebagian dari elemen muslim yang berbahasa Arab, dan
suatu golongan sarjana yang paham akan bahasa latin. Sejak raja-raja Norman dan para pengganti kerajaan Sicilia menguasai bukan
hanya pulau tersebut, melainkan juga Italia Selatan, maka merekalah yang
merupakan jembatan untuk menyeberangkan berbagai kebudayaan Islam ke semenanjung
Italia dan Eropa Tengah.
Di wilayah ini, sains Islam, khususnya kedokteran dipelajari di Salermo.
Penerjemahan besar-besaran dilakukan terutama oleh Constantinus Africanus (1087
M) yang beruntung menjadi murid seorang Arab. Dari terjemahan-terjemahan bahasa
Arab, ia menghasilkan terjemahan Latin karya-karya Hipocrates dan Gales di
samping menerjemahkan karya-karya orisinal sarjana-sarjana Muslim. Di Palermo,
ibukota Sisilia, juga timbul gerakan penerjemahan besar-besaran pada abad ke-13
M di bawah dorongan Raja Fredrick II dan Roger II. Dari sini, karya-karya terjemahan itu dibawa
ke Eropa bagian selatan, dan kelak melahirkan Renaisans di Itali.[7]
C. MELALUI ANDALUSIA (SPANYOL)
Di Andalusia banyak sekali universitas yang
didirikan. Di sana, orang-orang Eropa banyak berdatangan untuk kepentingan
studi dan transfer cultural. Sebut saja misalnya, Michael Scot, Robert
Chester, Adelard Barth, Gerard dari Cremona, dan lain-lain nama yang merintis
kegiatan studi di Andalusia. Pelajaran yang diberikan di Universitas Granada antara lain ilmu ketuhanan,
yurisprudensi, kedokteran, kimia, filsafat, dan asstronomi. Terdapat pula
gedung-gedung perpustakaan, ruang untuk diskusi dan rumah sakit. Setelah
granada jatuh pada tanggal 2 januari 1492 ke tangan Ferdinand dan istrinya
Isabella, buku-buku yang berbahasa Arab dibakar atas perintahnya.[8]
Di Andalusia sedikit demi sedikit umat Islam kehilangan wilayah
kekuasaanya. Mula-mula kota Toledo direbut oleh kriten pada tahun 1085 M,
hilanglah pusat sekolah tinggi dan pusat ilmu pengetahuan Islam beserta segala
isinya yang terdiri dari perpustakaan bersama ilmuwan-ilmuwannya.
Tahun 1236 M, menyusul
Cordova dirampas oleh raja Alfonso VII dari Castilia, maka hilang pula pusat
kebudayaan dunia disebelah barat beserta masjid raya Cordova yang didirikan
oleh amir-amir Umayyah di Andalusia, perpustakaan yang didirikan oleh Hakam II
dengan buku-bukumya dari segala cabang ilmu. Kehilangan itu terus berlanjut
kota demi kota, menyusul Sevilla, Malaga, dan Granada. Akhirnya umat islam
beserta raja Bani Ahmar terakhir, Abu Abdullah harus terusir dari Andalusia.
Tanah airnya yang telah ditempati lebih dari 75 abad dengan meninggalkan apa
yang pernah diciptakan, baik kebudayaan secara fisik berupa peradaban dan ilmu
pengetahuan, maupun miliknya secara rohani berupa penganut Islam dari penduduk
asli Andalusia yang digelari Muzarabes (Mustaribun) yang dipaksa untuk menjadi
kristen kembali.golongan Muzarabes inilah yang mengalirkan kembali ilmu
pengetahuan Islam ke Eropa.[9] Penyaluran ilmu pengetahuan ke Eropa dimulai ketika
Toledo jatuh ke tangan kristen. Untuk mempermudah penyerapan ilmu-ilmu Arab, di
Toledo didirikan sekolah tinggi terjemah. Pekerjaan ini dipimpin oleh Raymond.
Buku-buku yang disalin adalah buku-buku bahasa Arab yang masih tersisa dari
pembakaran. Penerjemah baghdad banyak yang dipindah ke Toledo, terutama yang
berasal dari bangsa Yahudi. Sebagian besar dari merek dapat menguaai bahasa
Arab, Yahudi, Spanyol, dan Latin. Di antara penerjemah yang terkenal adalah
Avendeath (Ibnu Daud, bangsa Yahudi), yang menyalin buku astronomi dan
astrologi dalam bahasa latin. Satu lagi Gerard Cremona, mencoba mengimbangi
pekerjaan hunaain bin Ishak menyalin buku-buku filsafat, matematika, dan ilmu
kedokteran.[10]
Demikianlah, kemudian Toledo menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu Islam ke
dunia barat. Peranan Toledo bertambah lengkap setelah umat Islam diusir dari
Andalusia. Buku-buku yang tersisa dari kota-kota lain di Andalusia seperti
Cordova, Sivilla, Malag, dan Granada, dapat mereka manfaatkan. Bangsa barat
benci terhadap Islam, akan tetapi haus kepada ketinggian ilmu dan peradabanya.[11] Kemajuan Eropa
yang berkembang pada saat itu banyak sekali berhutang budi pada khazanah islam
yang berkembang pada pereode klasik. Memang banyak saluran atau bentuk-bentuk
yang terjadi sehingga menyebabkan transmisi budaya islam ke Eropa sebagaimana
kita ketahui melaui perang salib, sicilia dan spanyol sendiri.[12]
Dan dari berbagai bentuk dan proses di atas faktor utama yang menyebabkan
terjadinya transmisi budaya islam adalah karena keinginan dari setiap Negara di
belahan Eropa untuk mengembangkan budaya dan ilmu di Negara mereka masing-masing, bila dilihat dari proses dan
bentuk-benuk transmisi yang terjadi. Yang berproses dari menterjemakan
buku-buku arab kedalam bahasa latin agar mereka bisa memahami dengan baik dan
menelaah apa yang ada didalamnya.
[1] Lihat, A.I.
Sabra, "Cross Cultural Transmission of Natural Knowledge and Its Social
Implication", Paper, h. 1
[2] ibid
[3] Harun Nasution,
"Peran Ajaran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan" dalam Islam
Rasional, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 298-299.
[4] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, (London: Mac Millan & Co. Ltd, 1964),
h. 530.
[5] Haidar Bagir,
"Jejak-jejak Sains Islam dalam Sains Modern", jurnal Ulumul Qur'an,
No. 2 Vol. 2 thn. 1989, h. 34-5.
[6] Lihat, Ulumul
Qur'an, No. 4, Vol. IV, Thn. 1993, h. 29-32.
[7] Harun Nasution,
op. cit., h. 302.
[8] Nourouzzaman
Shiddiqi, Tamaddun Islam: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), h. 67-80.
[9] ibid
[10] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (jakarta: sinar grafika offset,
2010), hlm. 119-120, 122
[11] ibid
[12] Badri yatim, sejarah
peradaban islam, (Jakarta : PT Raja grafindo prasada, 2004) hlm 108