Rabu, 08 November 2017

pergeseran spritual dikampus

Menuntut ilmu dalam perspektif agama islam merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar yang diperuntukan kepada semua muslimin dan muslimat. hal itu berlandaskan pada hadits Nabi Muhammad yang dalam agama islam merupakan sumber kedua setelah Al-Qur'an. Nabi Muhammad bersabda "menuntut ilmu itu  merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat (HR.Muttafak Alaih)". Jika hadits ini dikaitkan dengan undang-undang negara kesatuan rebublik indonesia yang menjamin atas semua warganya untuk mengenyam dunia pendidikan maka sesungguhnya warga negara indonesia ditekan oleh dua aturan yaitu aturan agama dan aturan negara.

kewajiban menuntut ilmu dalam agama islam memang secara tegas telah disyariatkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW namun persoalan lokasi atau tempat menuntut ilmu tidak pernah dijabarkan secara eksplisit oleh beliau. artinya, ilmu bisa dituntut dan dipelajari dimana saja asalkan ada kemauan dan guru yang ahli dalam ilmu tersebut.
kewajiban menuntut ilmu yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW tentu tidak berlaku untuk semua ilmu yang sangat luas itu. dalam ajaran agama islam, ada ilmu yang hukumnya fardu a'in (wajib bagi setiap individu) untuk dipelajari dan ada yang hukumnya fardu kifayah(cukup diwakilkan). adapun salah satu ilmu yang fardu a'in untuk dipelajari oleh kaum mulimin ialah ilmu Tauhid/akidah islamiyah.

Ilmu tauhid ini merupakan dasar dari segala bentuk macam ilmu yang tercecer dimuka bumi ini tanpa ilmu Tauhid manusia akan kehilangan ruh dari dirinya dan ruh dari ilmunya. ilmu Tauhid  memokuskan kajiannya pada Allah dan Rasulnya. bagaimana mengenal sang pencipta berikut sifat-sifat yang meliputinya, apa yang wajib bagi dirinya, yang jaiz dan yang mustahil. begitu pula terhadap Rasulnya.

dizaman modern ini, saat ilmu pengetahuan berada dalam puncak kejayaannya manusia cendrung menganggap bahwa kebenaran mutlak itu berada pada sains, terlebih dengan adanya pendeklarasian oleh beberapa ilmuan tentang indefendensi sains. artinya, sains tidak terpengaruh oleh apapun termasuk agama. oleh karna itulah, kecendrungan manusia modern-khususnya untuk kaum muslim- menganggap bahwa agama islam tidak mampu menjawab akan persoalan-persoalan duniawi semacam ini. perlahan demi perlahan manusia kemudian melupakan agama dan Tuhannya.

kelalaian semacam ini tidak hanya tenar diruang publik, namun juga dilembaga pendidikan islam seperti STAIN,IAIN dan UIN. pengaruh globalisasi yang tidak bisa dibendung memaksa mahasiswa mengkonsumsi literatur-literatur barat yang terlalu menitik tekankan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. yang lebih na'asnya, kebanyakan mahasiswa semacam ini tidak memiliki pondasi pelajaran agama dari sejak Tsanawiyah atau Aliyah walhasil, mahasiswa lulusan lembaga pendidikan islam tidak banyak yang bisa mengislamkan dirinya apalagi mengislamkan non muslim.

pergeseran spiritual didunia kampus semacam ini merupakan penomena unik. seharusnya kampus islam yang menjadi gambaran utuh tentang agama islam ternyata selama ini belum sempurna mengemban amanahnya. masih banyak yang perlu diperbaharui. misalkan dalam ranah kajian, kampus islam selama ini belum menemukan titik tekan pada kajian dasar filsafat islam. kita masih berkiblat pada filsafat barat yang tentunya sangat jauh berbeda dengan filsafat islam. perbedaan itu sangat mencolok ketika kita melihat konstruk pemikiran barat yang spekulatif sampai-sampai melanggar rambu-rambu agama. islam tidak mengharamkan filsafat, bahkan islam menganjurkan pemeluknya untuk berfilsafat selama itu tidak mengganggu keyakinan dasar tentang tauhid.

dalam agama islam, ada tiga epistimologi yang ditawarkan oleh al-jabiri. pertama epistimologi bayani, burhani dan irfani. epistimologi bayani lebih mengedepankan pemahaman teks secara tekstual saja. sehingga bunyi teks yang sudah jelas tidak perlu untuk dinalar lagi. adapun epistimologi burhani lebih menekankan sisi rasionalitas. akal dianggap mempunyai andil besar dalam memahami teks-teks agama. yang ketiga ialah epistimologi irfani yang lebih menitik beratkan pada ranah intuisi. dari ketiga epistimologi ini sesungguhnya agama islam tidak menutup diri dari dunia filsafat.

oleh karna itu, untuk menangani pergeseran spiritual didunia kampus ini perlulah kiranya membangun semangat beragama islam dikalangan mahasiswa/i. semangat beragama yang tidak melupakan sisi intelektual dan spritual. sehingga mahasiswa kelak akan menjadi pemikir dan pendakwah. ulama' yang berintelek dan intelek yang ulama'.

Kamis, 19 Oktober 2017

Transmisi Budaya Islam Ke erofa





Sebelum berbicara tentang transmisi budaya islam di eropa mari kita ketahui Satu penjelasan mengenai transmisi pengetahuan ilmiah dari satu kultur ke kultur lainnya di mana kultur dipahami terutama sebagai suatu wilayah merupakan satu gambaran mengenai gerakan produk-produk ilmiah; yaitu berupa pemindahan teks-teks, konsep-konsep, teori-teori, teknik-teknik, dan seterusnya dari satu kultur tertentu. Karena transmisi seringkali disertai oleh perubahan tertentu, maka suatu pendekatan kinematik mesti mempertimbangkan fakta-fakta tertentu transformasi, seperti fakta bahwa teks pada masa kemudian berbeda secara linguistik dengan teks pada masa awal (terjemahan); atau bahwa yang terakhir merupakan bentuk yang berbeda (ikhtisar, revisi, pengembangan, dan seterusnya) dari pertama.[1] Seperti diketahui bahwa perkembangan tradisi intelektualisme Islam kian menemukan bentuknya terutama terletak antara abad ke-8 dan ke-13 M. Dalam periode pertengahan inilah, oleh banyak ahli sejarah memandang dunia Islam sebagai mengalami "pencerahan intelektual".[2] Tradisi intelektualisme ini diawali dengan gerakan penerjemahan buku-buku Yunani dan bangsa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berpusat di Bayt al-Hikmah di Baghdad. Ilmu-ilmu yang dicakup gerakan penerjemahan ini adalah ilmu kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi di samping filsafat dan logika. Yang diterjemahkan adalah karangan-karangan Galinos, Hipocrates, Ptolomeus, Euclid, Plato, Aristoteles, dan lain-lain.[3] Dan buku-buku itu di telaah para cendikiawan muslim sehingga mereka mengerti ilmu yang ada pada saat itu dan semua itu juga berkat dorongan khalifah-khalifah abbasiyah baik yang berasal dari peradaban Yunani maupun Persia, Mesir dan dalam batas tertentu juga India.
Dalam mengakses ilmu dan peradaban Yunani, para cendekiawan Muslim tidak sekadar mencatat dan menerjemahkan karya tersebut, melainkan mengomentari, memberi notasi, dan mengembangkannya ke dalam hasil-hasil penelusuran mereka sendiri. Sehingga transmisi ilmu Yunani ke dalam dunia Islam di sini tidaklah dalam pengertian kinematik semata, tetapi justru menciptakan paradigma keilmuan yang khas dan tipikal Muslim, dan dengan begitu mereka berhasil dalam memulai tradisi ilmiah yang baru serta dalam bahasa yang baru pula. Selanjutnya untuk pengembangan ilmu-ilmu itu didirikanlah universitas-universitas. Yang termasyhur diantaranya, Universitas Cordoba di Andalusia (Spanyol Islam), Universitas Al-Azhar di Kairo, dan Universitas Al-Nizamiyah di Baghdad. Universitas yang disebutkan pertama, dalam perkembangannya tak sedikit menyertakan orang-orang Nasrani dari Eropa.[4]  terutama pada paruh awal abad ke-11guna mengikuti studi pada universitas dimaksud. Belakangan, universitas ini menjadi salah satu tempat terpenting dalam transmisi sains dan budaya dari dunia Islam ke Barat. Dan disanalah banyak orang datang dari berbagai negara menuntut ilmu di Eropa. Adapun kita akan membahas bagaimana bentuk dari transmisi budaya islam ke Eropa. Transmisi budaya islam ke Eropa mempunyai banyak bentuk dan proses yang terjadi, pada masa itu. Sesungguhnya, pengaruh peradaban Muslim (Abad Pertengahan) jauh lebih luas dibanding "sekadar" peletakan landasan sains modern. M.M. Sharif, salah seorang pemikir Muslim Pakistan terkemuka pasca Iqbal seperti dikutip Haidar Bagir menambahkan beberapa sumbangan lain pemikiran Islam atas pemikiran Barat: pengenalan ilmu-ilmu sejarah; penyelarasan filsafat dengan agama; penggalakan mistisisme Barat; peletakan landasan bagi Renaisans di Itali; dan sampai tingkat tertentu membentuk pemikiran Eropa modern hingga masa Immanuel Kant, bahkan (pada jurusan tertentu) hingga masa yang lebih belakang.[5]  Berikut adalah proses dan bentuk terjadinnya transmisi budaya islam ke Eropa yaitu melalui perang salib, sicilia, dan andalusia.
A. MELALUI PERANG SALIB
Siria dan sekitarnya, seperti diketahui adalah wilayah di mana Islam dan Barat berjumpa dalam bentuk perang Salib. Perang yang berlangsung antara 1095 sampai 1291 ini, sedikitnya punya pengaruh terhadap transmisi pemikiran dan sains Islam ke Barat. Kendati demikian, disadari bila pengaruh perang salib di sini tidaklah begitu intens, mengingat orang-orang yang datang sebagai pasukan Salib adalah ksatria-ksatria perang dan bukan ilmuan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sekiranya pun terjadi transmisi akibat perang salib tetapi bentuknya tak lebih dari peniruan tatacara hidup sebagai hasil kekaguman Barat dalam hal ini pasukan Salib terhadap masyarakat Islam yang mereka lihat. Transmisi terlihat terutama pada kemiliteran, arsitektur, teknologi pertanian, industri, rumah-rumah sakit, permandian umum, dan dalam batas tertentu juga sastra.
Di samping dua bentuk yang mengakibatkan terjadinya transmisi pemikiran dan sains Islam ke Barat, tak sedikit historian melihat bila terdapat pula pengaruh kontak pribadi dalam proses itu. Pandangan ini berangkat dari satu kenyataan bahwa sejak penaklukan Siria, Mesir dan Persia oleh ekspedisi-ekspedisi Islam sejak khalifah 'Umar ibn al-Khattab, tak sedikit orang-orang Kristen di Timur (Bizantium) menjalin kontak pribadi dengan orang-orang Islam. Karena semangat liberasi, moderasi dan toleransi yang dimiliki umat Islam, sehingga orang-orang Kristen tidak menemukan halangan dalam mengikuti kegiatan intelektual dan kebudayaan kaum Muslim. Tak jarang di antara mereka menjadi tokoh-tokoh penting dalam gerakan keilmuan Islam yang lahir kemudian. Mereka pula yang kelak banyak membantu menerjemahkan karya-karya keilmuan Yunani ke dalam bahasa Arab, dan selanjtnya, terutama pada paruh awal abad ke-11, karya-karya terjemahan berbahasa Arab itulah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh sarjana-sarjana Barat.[6] Dengan adanya perang salib ini banyak membawa keuntungan bagi benua Eropa. Perhubungan orang Kristen dengan orang Timur Tengah memberikan kemjuan dalam berbagai bidang. Ketika kembali ke Eropa kapal-kapal mereka membawa barang-barang berharga seperti kain tenun sutera, bejana dari porselin, dan lain-lain. Sedangkan dari jenis tumbuh-tumbuhan yang dibawa ke Eropa antara lain: sejenis biji-bijian, tanaman padi, pepohonan jeruk, semangka, bawang putih, tumbuhan obat-obatan, tumbuhan yang mengandung zat pewarna dan rempah-rempah.
B. MELALUI NEGERI SICILIA
Sebagai titik persentuhan dari dua lapangan kebudayaan, maka pulau Sicilia teristimewa merupakan alat penghubung untuk meneruskan pengetahuan kuno dan pengetahuan abad pertengahan. Sebagian rakyatnya terdiri dari elemen Yunani yang berbahasa Yunani, sebagian dari elemen muslim yang berbahasa Arab, dan suatu golongan sarjana yang paham akan bahasa latin. Sejak raja-raja Norman dan para pengganti kerajaan Sicilia menguasai bukan hanya pulau tersebut, melainkan juga Italia Selatan, maka merekalah yang merupakan jembatan untuk menyeberangkan berbagai kebudayaan Islam ke semenanjung Italia dan Eropa Tengah.
Di wilayah ini, sains Islam, khususnya kedokteran dipelajari di Salermo. Penerjemahan besar-besaran dilakukan terutama oleh Constantinus Africanus (1087 M) yang beruntung menjadi murid seorang Arab. Dari terjemahan-terjemahan bahasa Arab, ia menghasilkan terjemahan Latin karya-karya Hipocrates dan Gales di samping menerjemahkan karya-karya orisinal sarjana-sarjana Muslim. Di Palermo, ibukota Sisilia, juga timbul gerakan penerjemahan besar-besaran pada abad ke-13 M di bawah dorongan Raja Fredrick II dan Roger II. Dari sini, karya-karya terjemahan itu dibawa ke Eropa bagian selatan, dan kelak melahirkan Renaisans di Itali.[7]
C. MELALUI ANDALUSIA (SPANYOL)
Di Andalusia banyak sekali universitas yang didirikan. Di sana, orang-orang Eropa banyak berdatangan untuk kepentingan studi dan transfer cultural. Sebut saja misalnya, Michael Scot, Robert Chester, Adelard Barth, Gerard dari Cremona, dan lain-lain nama yang merintis kegiatan studi di Andalusia. Pelajaran yang diberikan di Universitas Granada antara lain ilmu ketuhanan, yurisprudensi, kedokteran, kimia, filsafat, dan asstronomi. Terdapat pula gedung-gedung perpustakaan, ruang untuk diskusi dan rumah sakit. Setelah granada jatuh pada tanggal 2 januari 1492 ke tangan Ferdinand dan istrinya Isabella, buku-buku yang berbahasa Arab dibakar atas perintahnya.[8]
Di Andalusia sedikit demi sedikit umat Islam kehilangan wilayah kekuasaanya. Mula-mula kota Toledo direbut oleh kriten pada tahun 1085 M, hilanglah pusat sekolah tinggi dan pusat ilmu pengetahuan Islam beserta segala isinya yang terdiri dari perpustakaan bersama ilmuwan-ilmuwannya.
Tahun 1236 M, menyusul Cordova dirampas oleh raja Alfonso VII dari Castilia, maka hilang pula pusat kebudayaan dunia disebelah barat beserta masjid raya Cordova yang didirikan oleh amir-amir Umayyah di Andalusia, perpustakaan yang didirikan oleh Hakam II dengan buku-bukumya dari segala cabang ilmu. Kehilangan itu terus berlanjut kota demi kota, menyusul Sevilla, Malaga, dan Granada. Akhirnya umat islam beserta raja Bani Ahmar terakhir, Abu Abdullah harus terusir dari Andalusia. Tanah airnya yang telah ditempati lebih dari 75 abad dengan meninggalkan apa yang pernah diciptakan, baik kebudayaan secara fisik berupa peradaban dan ilmu pengetahuan, maupun miliknya secara rohani berupa penganut Islam dari penduduk asli Andalusia yang digelari Muzarabes (Mustaribun) yang dipaksa untuk menjadi kristen kembali.golongan Muzarabes inilah yang mengalirkan kembali ilmu pengetahuan Islam ke Eropa.[9] Penyaluran ilmu pengetahuan ke Eropa dimulai ketika Toledo jatuh ke tangan kristen. Untuk mempermudah penyerapan ilmu-ilmu Arab, di Toledo didirikan sekolah tinggi terjemah. Pekerjaan ini dipimpin oleh Raymond. Buku-buku yang disalin adalah buku-buku bahasa Arab yang masih tersisa dari pembakaran. Penerjemah baghdad banyak yang dipindah ke Toledo, terutama yang berasal dari bangsa Yahudi. Sebagian besar dari merek dapat menguaai bahasa Arab, Yahudi, Spanyol, dan Latin. Di antara penerjemah yang terkenal adalah Avendeath (Ibnu Daud, bangsa Yahudi), yang menyalin buku astronomi dan astrologi dalam bahasa latin. Satu lagi Gerard Cremona, mencoba mengimbangi pekerjaan hunaain bin Ishak menyalin buku-buku filsafat, matematika, dan ilmu kedokteran.[10]
Demikianlah, kemudian Toledo menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu Islam ke dunia barat. Peranan Toledo bertambah lengkap setelah umat Islam diusir dari Andalusia. Buku-buku yang tersisa dari kota-kota lain di Andalusia seperti Cordova, Sivilla, Malag, dan Granada, dapat mereka manfaatkan. Bangsa barat benci terhadap Islam, akan tetapi haus kepada ketinggian ilmu dan peradabanya.[11] Kemajuan Eropa yang berkembang pada saat itu banyak sekali berhutang budi pada khazanah islam yang berkembang pada pereode klasik. Memang banyak saluran atau bentuk-bentuk yang terjadi sehingga menyebabkan transmisi budaya islam ke Eropa sebagaimana kita ketahui melaui perang salib, sicilia dan spanyol sendiri.[12] Dan dari berbagai bentuk dan proses di atas faktor utama yang menyebabkan terjadinya transmisi budaya islam adalah karena keinginan dari setiap Negara di belahan Eropa untuk mengembangkan budaya dan ilmu  di Negara mereka masing-masing, bila dilihat dari proses dan bentuk-benuk transmisi yang terjadi. Yang berproses dari menterjemakan buku-buku arab kedalam bahasa latin agar mereka bisa memahami dengan baik dan menelaah apa yang ada didalamnya.



[1] Lihat, A.I. Sabra, "Cross Cultural Transmission of Natural Knowledge and Its Social Implication", Paper, h. 1
[2] ibid
[3] Harun Nasution, "Peran Ajaran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan" dalam Islam Rasional, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 298-299.
[4] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Mac Millan & Co. Ltd, 1964), h. 530.
[5] Haidar Bagir, "Jejak-jejak Sains Islam dalam Sains Modern", jurnal Ulumul Qur'an, No. 2 Vol. 2 thn. 1989, h. 34-5.
[6] Lihat, Ulumul Qur'an, No. 4, Vol. IV, Thn. 1993, h. 29-32.
[7] Harun Nasution, op. cit., h. 302.
[8] Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Islam: Bunga Rampai Kebudayaan Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 67-80.
[9]  ibid
[10] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (jakarta: sinar grafika offset, 2010), hlm. 119-120, 122
[11] ibid
[12] Badri yatim, sejarah peradaban islam, (Jakarta : PT Raja grafindo prasada, 2004) hlm 108

Rabu, 20 September 2017

menelaah buku Clifford Geertz : The Religion of Java





A.    Biografi Singkat Clifford Geertz
Clifford James Geertz lahir di San Fransisco, California pada tanggal 23 Agustus tahun 1926 dan meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun. Setelah menyelesaikan SMA, ia mempelajari filsafat hingga mendapat gelar B.A. tahun 1950 dari Antioch College di Ohio. Selanjutnya beliau melanjutkan studi antropologi di Harvard University, dan disinilah ia banyak dituntut kerja lapangan sebagai landasan bagi konstruksi keilmuannya.[1]
Clifford James Geertz adalah seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui penelitian-penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam bidang seperti agama (khususnya Islam), perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional, serta kehidupan desa dan keluarga. Terkait kebudayaan Jawa, ia memopulerkan istilah priyayi saat melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan.Sejak tahun 1970 hingga meninggal dunia Geertz menjabat sebagai profesor emeritus di Fakultas Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study. Ia juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di Departemen Sejarah Universitas Princeton dari 1975 hingga 2000.[2]
B.     Kegelisahan Akademik atau Hipotesis Clifford Geertz
Faktor yang mendorong Clifford Geertz melakukan penelitian tentang variasi keagamaan dalam kebudayaan Jawa adalah tugas akademik untuk mengadakan penelitian masyarakat multi agama di Indonesia (Jawa) dari kampusnya, yaitu Harvard University. Penelitian ini dilakukan dalam waktu 2 tahun, yaitu dari tahun 1952 sampai 1954. Penelitian inilah yang selanjutnya menghantarkannya hingga menyandang gelar doktor dari Harvad’s Departemen of Sosial Relations tahun 1956.[3]
Adapun, sistem logika yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, artinya peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau hipotesis tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Akan tetapi, peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya.  Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi menggunakan teori tertentu.[4]
C.    Pendekatan Penelitian
Dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[5]
Adapun pendekatan yang digunakan Clifford Geertz dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologis. Menurut kamus umum, antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia mengenai asalnya, perkembangannya, jenis (bangsanya) dan kebudayaannya. Dengan demikan, antropologi itu adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji masalah manusia dan budayanya, ilmu antropologi ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk hidup baik di masa lampau maupun di masa sekarang.[6]
Selanjutnya, pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula dalam memahami agama.[7]
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dewam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologi. Penelitian antropologi yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yag dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[8]
Jadi, dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa melalui pendekatan antropologis terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia. Oleh karena itu, pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab masalah agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi. Artinya, manusia dalam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.[9]
D.    Hasil Penelitian
Pembahasan dalam buku ini terdiri dari empat bagian, yaitu:
  1. Bagian satu menjelaskan tentang varian abangan. Penjelasan tentang varian abanganini terdiri dari sembilan bab yaitu dari bab satu sampai bab sembilan.
  2. Bagian dua  menjelaskan tentang varian santri. Penjelasan tentangvarian santriini terdiri dari tujuh bab yaitu dari bab sepuluh sampai bab enam belas.
  3. Bagian ketiga menjelaskan tentang varian priyayi.Penjelasan tentangvarian priyayiini terdiri dari lima bab yaitu dari bab tujuh belas sampai bab dua puluh satu.
  4. Bagian keempat menjelaskan simpulan yang terdiri dari satu bab saja yaitu bab dua puluh dua.
Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang masing-masing bagian.
1.      Varian Abangan
Abangan adalah varian yang mempresentasikan penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi dan secara luas terkait dengan elemen petani. Adapun ciri khas varian abangan antara lain: pertama, mengadakan sebuah upacara komunal yang disebut slametan. Kedua, percaya terhadap makhluk halus. Dan ketiga, percaya terhadap perdukunan yang meliputi pengobatan, sihir dan magi. Berikut penjelasan umum tentang ketiga ciri khas tersebut.
Ciri pertama dari varian abangan adalah mengadakan sebuah upacara untuk merespon kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan yang disebut slametan. Misalnya kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya slametan.
Persamaan dari berbagai bentuk slametan ini adalah selalu ada hidangan  khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu), dupa, pembacaan do’a Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut peristiwanya). Selain itu, selalu terlihat tatakrama yang sopan serta sikap malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun upacara itu ringkas dan tidak dramatis, tetapi sudah menjadi pemahaman umum bahwa sesuatu yang penting sedang berlangsung.
Adapun makna slametan yang diselenggarakan tersebut sebagaimana informasi yang didapatkan oleh Clifford Geertz dalam penelitiannya adalah: pertama, adanya perasaan bahwa tidak ada seorangpun yang berbeda satu sama lain. Artinya, dalam slametan setiap orang diperlakukan sama. Kedua, slametan menjaga pelakunya dari makhluk-makhluk halus sehingga mereka tidak akan diganggu. Artinya arwah setempat tidak akan membuat pelakunya merasa sedih, sakit atau bingung.
Secara umum, slametan terbagi ke dalam empat jenis: (1) yang berkisar di sekitar krisis kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, seperti Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada kaitannya dengan integrasi sosial desa, dan pembersihan desa; (4) slametan yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang, misalnya keberangkatan untuk sebuah perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit dan sebagainya.
Setelah dijelaskan tentang makna slametan serta pembagiannya. Berikut akan dipaparkan siklus dari masing-masing jenis slametan tersebut.
a.      Jenis Pertama
1)      Siklus Slametan Kelahiran
Di sekitar kelahiran terkumpul empat slametan utama dan berbagai slametan kecil. Pertama, tingkaben yaitu slametan utama yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan. Acara ini diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu, si ayah atau keduanya. Kedua, babaran atau brokohan yaitu slametan yang diselenggarakan  pada saat kelahiran bayi. Ketiga, pasaran yaitu slametan yang diselenggarakan lima hari sesudah kelahiran. Keempat, pitonan yaitu slametan yang diselenggarakan pada tujuh bulan setelah kelahiran. Selain itu, slametan-slametan lain bisa diadakan, bisa juga tidak yakni pada bulan ketiga masa kehamilan (telonan), bulan pertama sesudah kelahiran (selapanan) dan setahun sesudahnya (taunan).  
2)      Siklus Slametan Khitanan dan Perkawinan
Upacara untuk merayakan khitanan pada umumnya menyerupai pola upacara perkawinan, tentu saja dengan meniadakan unsur-unsur yang berhubungan dengan upacara bersanding bagi kedua mempelai. Dengan demikian, hidangan pada slametan islaman (khitanan, disebut juga sunatan) sama dengan hidangan pada slametan kepanggihan (perkawinan) dan kedua upacara itu memberikan kesempatan utama untuk pengeluaran yang berlebih-lebihan dalam kehidupan orang Jawa. Hiburan sewaan yang meriah – wayang kulit dengan seperangkat gamelan, orkes model Barat lengkap dengan biduanitanya atau rombongan tari maupun drama keliling – sering dipertunjukkan.
3)      Siklus Slametan Kematian
Kalau terjadi kematian di sebuah keluarga, maka hal pertama yang dilakukan adalah memanggil  modin atau pejabat keagamaan resmi di desa. Dan kedua, menyampaikan berita di daerah sekitar bahwa sebuah kematian telah terjadi. Kalau kematian itu terjadi sore atau malam hari, mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memulai proses layatan atau pemakaman.
Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian.Seorang yang meninggal pada pukul 10 pagi akan dimakamkan pada tengah hari atau beberapa saat sesudah itu dan orang yang meninggal pada pukul empat sore akan sudah berada dalam liang lahat pada pukul 10 pagi berikutnya. Hal demikian dilakukan, karena menurut mereka roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya dikuburkan. Dan ini berbahaya bagi setiap orang, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan. Makin cepat ia dikuburkan, makin cepat pula rohnya kembali ke tempat yang layak. 
b.      Jenis kedua, jenis ini disebut dengan slametan menurut penanggalan yaitu slametan yang diselenggarakan berdasarkan kalender tahunan umat Islam. Berikut adalah slametan menurut penanggalan yang diakui orang Jawa:
1)      Satu Sura: ini lebih merupakan hari raya Budha dari pada hari raya Islam. Karenanya, ia hanya dirayakan oleh mereka yang secara sadar anti Islam. Dengan tumbuhnya beberapa sekte anti Islam yang bersemangat sejak masa perang serta munculnya guru-guru keagamaan yang mengkhotbahkan perlunya kembali kepada adat Jawa yang asli, frekuensi slametan satu sura mungkin telah sedikit meningkat. Beberapa individu tertentu yang anti Islam bahkan berpuasa pada bulan sura dan tidak dalam bulan pasa, tetapi ini agak jarang terjadi.
2)      10 Sura: untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum kafir. Mereka membawa beras (dimana mereka memperoleh berasdinegeri Arab tidak dibahas) ke sungai untuk dicuci, tetapi kuda musuh menghampiri dan menendang beras itu ke sungai. Kedua anak itu menangis dan kemudian memungut beras yang telah bercampur dengan pasir serta kerikil. Namun, mereka memasaknya juga menjadi bubur. Dengan demikian, slametan ditandai oleh dua mangkok bubur, yang satu dengan kerikil serta pasir didalamnya untuk dimakan para cucu, dan satunya lagi dengan kacang dan potongan ubi goreng untuk melambangkan ketidak murnian, yang akan dimakan oleh orang dewasa. Walaupun beberapa orang mengatakan bahwa upacara keagamaan ini pada dasarnya upacara ini berasal dari kaum Syi’ah, tetapi sudah berubah menurut daerah kadang kadang masih diadakan, tetapi saya tidak pernah melihat ada yang melakukannya di Mojokuto dan pada umumnya memeng jarang.
3)      12 Mulud: hari dimana, menurut konvensi, Nabi dilahirkan dan meninggal dunia. Slametan ini disebut muludan (ini dan nama bulan itu sendiri, mulud diambil dari istilah Arab maulud “kelahiran”). Slametan ini ditandai dengan ayam utuh yang diisi (bagian dalamnya dikeluarkan, dicuci dan diisi, lalu ayam itu dikaitkan kembali), bentuk sajian yang utama untuk Nabi pada semua slametan. Slametan ini mungkin adalah yang paling teratur diadakan diantara slametan menurut penanggalan lainnya.
4)      27 Rejeb: Slametan ini disebut rejeban, merayakan mi’raj, perjalanan Nabi mengahadap Tuhan dalam satu malam. Panganannya sama dengan muludan dan walaupun slametan ini cukup sering diadakan (selalu dalam ukuran sangat sederhana) banyak kalangan bukan santri tidak mengerti apa maksud slametan ini.
5)      29 Ruwuh: Permulaan puasa yang disebut megengan (dari pegeng “menyapih”). Slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka yang setidaknya salah satu dari orang tuanya sudah meninggal. (Ruwah, nama bulan itu berasal dari kata Arab arwah, jiwa orang yang sudah meninggal). Sebagaimana layaknya slametan kematian, ia ditandai oleh adanya panganan dari tepung beras, apem, yang merupakan lambang orang Jawauntuk kematian. Sejenak sebelum slametan, orang pergi kemakam untuk menyebarkan bunga dikuburan orang tuanya dan roh orang tua ini dianggap hadir dalam slametan untuk makan bau panganan. Orang juga mandi keramas untuk menyucikan diri mengahadapi puasa. Berbeda dengan kebanyakan slametan lainnya, magengan diadakan sebelum matahari terbenam (tidak sesudahnya) dan dengan begitu, menandai siang hari terakhir orang diperbolehkan makan sebelum puasa tiba.
6)      21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa: slametan yang diadakan pada salah satu dari hari ini disebut maleman (dari “malam”), karena diadakan pada malam hari. Pasalnya, makan disiang hari pada bulan pasa dilarang, (namun, sementara kalangan bukan santri tidak mena’ati larangan ini dan orang yang tidak berpuasa tidak malu-malu makan didepan umum, sementara orang orang lain sedang berpuasa). Orang memilih salah satu dari hari-hari ini begitu saja atau melalui ramalan petungan yang diterapkan pada hari lahirnya. Tanggal terakhir, 29 disebut jagalan hari situkang jagal karena menurut tradisi, tukang jagal menggunakan hari-hari lainnya untuk menyembelih binatang bagi slametan orang lain dan hari terakhir ini digunakan untuk dirinya sendiri. Tetapi, ini tak lagi ditaati. Terkadang orang mengatakan bahwa tanggal 21, 23, dan 25 adalah untuk orang Islam sejati (kaum santri), tanggal 27 untuk orang muda dan tanggal 29 untuk orang berusia lanjut. Tetapi, seberapa luas kepercayaan ini dianut orang, saya tidak tahu pasti. Hampir tiap abangan mengadakan maleman pada salah satu dari tanggal-tanggal ini. Didesa-desa, muludan dan maleman biasanya merupakan perayaan seluruh desa yang diadakan dirumah kepala desa. Ke situlah semua keluarga didesa itu membawa hidangan slametan yang kemudian dipertukarkan, hampir seperti perayaan bersih desa yang akan dibahas nanti.
7)      Satu Sawal: mengakhiri puasa, yang disebut bruwah. Nasi kuning dan sejenis telur dadar adalah hidangan spesialnya. Hanya orang yang benar-benar puasa yang dianjurkan mengadakan slametan ini, tetapi beberapa orang yang tidak berpuasa pun mengadakan. Arwah orang yang meninggal kadang-kadang juga dianggap turun kebumi untuk mengahadiri slametan ini dan orang kemudian melanjutkan dengan berziarah kemakam orang tua mereka.
8)      Tujuh Sawal: sebuah slametan kecil yang disebut kupatan. Hanya mereka yang memiliki anak kecil yang telah meninggal yang dianjurkan untuk mengadakan slametan ini yang tentunya mencakup hampir semua orang dewasa di Jawa, walaupun slametan ini dalam kenyataannya tak begitu sering diadakan. Pada pukul tujuh pagi, orang membuat kupat dan penganan dengan bungkus yang hampir sama yang disebut lepet. Beberapa diantaranya digantungkan dipintu luar, sehingga anak-anak kecil yang sudah mati bisa pulang dan makan disana tanpa mempedulikan siapapun yang ada didalam.
9)      10 Besar: ini adalah hari penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari dimana Jemaah haji berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan lagi pengorbanan itu. Sekalipun hari raya ini penting bagi kalangan santri, yang menyembelih sapidan kambing untuk fakir miskin, slametan ini jarang diadakan. Harus dicatat bahwa takada sajen yang dipersiapkan semuaslametanIslam ini paling tidak sajen dianggap tak perlu ada disana.
c.       Jenisketiga, jenis ini disebut dengan slametan bersihdesa yaitu slametan yang diselenggarakan berhubungan dengan pengkudusan hubungan dalam ruang, dengan merayakan dan memberikan batas-batas kepada salah satu unit teritorial dasar dari struktur sosial orang Jawa. Apa yang ingin dibersihkan dari desa itu tentu saja adalah makhluk-makhluk halusyang berbahaya, dimana hidangan dipersembahkan kepada danyangdesa (makhluk halus penjaga desa) di tempat pemakamannya. Di desa yang kuat santrinya, bersihdesa bisa berlangsung di masjid dan seluruhnya terdiri atas pembacaan do’a. Di desa-desa yang tak bermakam danyang atau bila tempatnya tidak baik letaknya, upacara itu bisa diselenggarakan di rumah kepala desa. Setiap keluarga di desa itu diharuskan menyumbang makanan dan setiap kepala keluarga yang sudah dewasa harus ikut serta dalam slametan ini. Bersihdesa selalu diadakan pada bulan Sela, bulan ke-11 tahun Kamariah, tetapi masing-masing desa mengambil hari yang berbeda-beda tergantung pada anggapan orang tentang karakteristik pribadi danyang desanya. Sebagai contoh, di sebuah desa dekat Mojokuto, danyang desanya yang bernama “Mbah Jenggot”adalah seorang yang agak bajingan dan karenanya menuntut pembakaran candu serta diadakannya tayuban, sebuah bentuk hiburan yang agak buruk, yang mengikutsertakan penari perempuan jalanan (yang biasanya juga seorang pelacur) serta upacara minum arak Belanda. Hal ini dianggap sebagai kemauan sang danyang, karena ketika danyang ini merasuki seseorang yang melewati sumber air tempat ia tinggal, ia menuntut candu serta tayuban sebagai imbalan untuk kesediaannya pulang dan meninggalkan orang yang malang itu supaya sadar kembali. Di desa lain, danyang desa-nya berasal dari tipe yang lebih wajar dan estetis, karenanya wayang kulit harus diadakan untuknya.
d.      Jeniskeempat, jenis ini disebut dengan slametan selingan yaitu slametan yang diadakan sekali-kali untuk sebuah peristiwa atau maksud khusus yang biasanya tidak berulang kembali pada rangkaian jarak waktu tertentu. Misalnya, slametan pindah rumah, ganti nama, memulai perjalanan, mimpi buruk, menolak atau meminta hujan, ulang tahun klub-klub dan organisasi persaudaraan, slametan karena terkena tenung, untuk pengobatan serta slametan untuk anak tunggal. Pola slametan ini sebagai refleks defensif terhadap kejadian yang tidak biasa. 
Ciri kedua dari varian abangan ini adalah percaya terhadap makhluk halus. Ada tiga jenis makhluk halus utama yang mereka yakini yaitu: memedi(secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus) dan tuyul.
Memedihanya mengganggu orang atau menakut-nakuti mereka, tetapi biasanya tidak menimbulkan kerusakan serius. Memedilaki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe(kawin dengan gendruwo, mereka selalu terlihat menggendong anak kecil dengan selendang di pinggang, sebagaimana ibu-ibu manusia).Memedibiasanya ditemukan pada malam hari, khususnya di tempat-tempat yang gelap dan sepi. Seringkali mereka tampak dalam wujud orang tua atau keluarga lainnya, hidup atau mati, kadang-kadang malahan menyerupai anak sendiri.
Lelembut, berbeda dengan memedi, ia dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila. Lelembutmasuk ke dalam tubuh orang dan kalau orang itu tidak diobati oleh seorang dukun asli Jawa, ia akan mati. Dokter-dokter Barat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap penyakit atau kegilaan yang disebabkan oleh lelembut. Dukunsering bisa mengatakan di bagian tubuh mana lelembutitu masuk dan dapat mengeluarkannya dengan memijat tempat itu saja, misalnya kaki, lengan, atau bagian punggung. Karena lelembutsamasekali tidak tampak, dia juga tidak mengambil wujud salah seorang keluarga, tetapi mereka ini sangat berbahaya bagi manusia.
Jenis terakhir ialah tuyul yaitu makhluk halus anak-anak (anak-anak yang bukan manusia). Mereka tidak menggangu, menakuti orang atau membuatnya sakit, akan tetapi sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membatu manusia menjadi kaya. Kalau orang ingin berhubungan dengan mereka, ia harus berpuasa serta bersemedi, tak lama kemudian, orang itu akan bisa melihat mereka dan untuk selanjutnya bisa memperkerjakan mereka buat kepentingannya sendiri.
Adapun ciri ketiga dari varian abangan adalahpercaya terhadap perdukunan yang meliputi pengobatan, sihir dan magi. Pada hakikatnya, membatasi dukun pada konteks abangan saja tidaklah benar, karena kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap kekuatan mereka maupun kepada mereka sebagai orang-orang yang sebenarnya menjalankan seni perdukunan, tersebar di seluruh masyarakat Jawa, baik di kalangan priyayi, santri maupun abangan. Namun, frekuwensi yang lebih besar dan lebih pentingnya hal itu dalam kehidupan sehari-hari serta mungkin lebih besarnya kepercayaan kepada perdukunan di kalangan abangan, dapat membenarkan anggapan bahwa dukun adalah sebuah fenomena yang sebagian besar ada di kalangan abangan.
2.      Varian Santri
Santri adalah orang-orang yang kepercayaannya lebih ditekankan pada aspek Islam dari sinkretisme dan umumnya dihubungkan dengan elemen pedagang. Ketika membandingkan varian abangandan santri dari pola keagamaan Mojokuto, ada dua perbedaan umum yang mencolok, yaitu: pertama, kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin tetapi terpesona oleh detail keupacaraan. Sementara di kalangan santri, perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang sudah menipis. Seorang abangan tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya – bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian. Untuk kalangan santri, peribadatan pokok juga penting – khususnya sembahyang, pelaksanaanya secara sadar dianggap oleh kalangan santri maupun non-santri sebagai tanda istimewa dari seseorang yang benar-benar santri – tetapi hal itu tidak begitu banyak dipikirkan. Dalam keadaan apapun, peribadatan itu sederhana saja. Yang menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya.
Perbedaan kedua yang jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak pada masalah organisasi sosial mereka. Untuk kalangan abangan, unit sosail paling dasar tempat hampir semua berlangsung adalah rumahtangga seorang pria, isterinya dan anak-anaknya. Misalnya sebuah rumahtangga mengadakan slametan, maka para kepala rumahtanggalah yang datang megikuti slametan itu, yang kemudian membawa pulang sebagian makanan bagi anggota keluarga yang lain. Untuk kalangan santri, sebagai rasa satu komunitas (ummat) adalah yang terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris, komunitas yang semakin lama semakin lebar – Mojokuto, Jawa, Indonesia, seluruh dunia Islam – yang terbentang dari tempat berdiri seorang individu santri, sebuah komunitas besar orang-orang yang beriman, yang senantiasa mengulang pengucapam nama Nabi, melakukan sembahyang dan membaca Al-quran.
Selain itu, di kalangan santri sendiri ada yang konservatif atau kolot dan ada yang modernis. Berikut adalah perbedaan antara kedunya dari segi dokrin, antara lain:
a.       Kelompok kolot cenderung menitikberatkan hubungan dengan Tuhan dimana penerimaan rahmat serta berkat sebagai hasil kemurahannya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan moral serta pengertian bahwa peruntungan seseorang seluruhnya ditetapkan oleh kehendak Tuhan merupakan ciri-ciri pokoknya. Kelompok modern cenderung menitikberatkan hubungan dengan Tuhan, dimana kerja keras dan penentuan nasib sendiri menjadi titikberatnya.
b.      Kelompok kolot cenderung memegang sebuah konsep yang totalistik, mengenai peran agama dalam kehidupan, dimana semua aspek usaha manusia cenderung memiliki makna keagamaan dan dimana batas antara apa yang bersifat keagamaan serta sekuler, cenderung kabur. Kelompok modern cenderung memegang pengertian yang sempit tentang agama dimana hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan dimana batas antara apa yang agama serta apa yang sekuler cenderung cukup tajam.
c.       Kelompok kolot cenderung kurang menaruh perhatian (tetapi masih memperhatikan juga) kepada kemurnian Islam mereka dan lebih longgar dalam memberikan upacara-upacara non-Islam setidaknya sebuah ruang kecil dalam wilayah agama. Kelompok modern cenderung bersikeras untuk Islam yang sudah dimurnikan dari elemen keagamaan lain.
d.      Kelompok kolot cenderung memberi tekanan pada aspek pemenuhan agama secara langsung, menekankan pengalaman keagamaan. Kelompok modern cenderung memberi tekanan pada aspek instrumental dari agama, memperhatikan tingkah laku keagamaan.
e.       Kelompok kolot cenderung membenarkan praktik dengan kebiasaan dan berdasarkan pembelajaran skolastik yang terperinci terhadap ulasan-ulasan keagamaan yang tradisional. Kelompok modern cenderung membenarkan hal itu atas dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan rujukan umum kepada al-Qur’an dan hadist yang ditafsirkan secara longgar.
Terkait pola organisasi internal santri, ada dua partai politik besar kaum santri di Mojokuto yaitu Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU), satu partai kecil yaitu Partai Sarekat Islam indonesia (PSII), serta satu organisasi sosial yang berkenaan dengan pendidikan dan berbagai kegiatan amal yang mengklaim tidak politis, tetapi yang pada kenyataannya terjalin rapat dengan Masyumi, yaitu Muhammadiyah. Pada umumnya Masyumi-Muhammadiyah dianggap oleh setiap orang sebagai “progresif” atau “modernis” dan NU dianggap sebagai “konservatif” dan “kuno”.(Di Mojokuto, PSII biasanya dikelompokkan ke dalam sektor modernis).
Pada perkembangannya, partai-partai politik rupanya semakin lama semakin bertambah penting sebagai dasar organisasi sosial kaum santri di desa maupun kota, menggantikan ikatan geografis yang lama dengan ikatan ideologi (sebuah kecenderungan yang ada, tetapi tidak begitu terlihat di kalangan abangan dan priyayi). Tujuan Nahdatul Ulama, menurut seorang pemimpinnya adalah untuk membangunkan kiyai yang tertidur. NU berusaha mewadahi bentuk-bentuk ikatan sosial keagamaan tradisional yang berpusat di sekitar pondok dengan struktur partai politik modern yang hanya sedikit saja mengubah bentuk ikatan tradisonal itu. Sedangkan Masyumi-Muhammadiyah mencoba mengganti bentuk lama itu dengan mengajukan beberapa model buatan kota yang membuka berbagai kemungkinan. Semua ini merupakan kelompok-kelompok sosial yang menjadi rujukan pokok bagi kaum santri di Mojokuto.
Pada awalnya sistem pendidikan santri secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.      Pondok (pola tradisional)
Pondok disebut juga dengan pesantren. Sebuah pondok terdiri atas seorang guru – pemimpin, pada umumnya seorang haji yang disebut kiyai dan sekelompok murid laki-laki yang berjumlah 300 atau 400 sampai 1000 orang yang disebut santri.
Bangunan pokok hampir tanpa kecuali terletak di luar kota. Biasanya terdiri atas sebuah masjid, rumah kiyai dan sederatan asrama untuk para santri. Pengajian diberikan dimasjid dimana kiyai membaca bagian dari kitab fatwa keagamaan (dan sejak munculnya Muhammadiyah, al-qur’an dan hadist makin sering dibaca) kemudian para santri menirukannya baris demi baris. Kalau kiyainya bisanya bisa berbahasa Arab, jarang sekali terjadi, ia mungkin akan memberikan komentar mengenai makna bagian-bagian tertentu dari waktu-waktu yang dicatat oleh para santri di pinggir kitab mereka (dengan tulisan Arab). Kalau ia tidak tahu bahasa Arab ia bisa menggunakan terjemahan Indonesia. Dalam keduanya adalah bentuknya yang sangat penting dalam hubungannya dengan pembacaan yang benar bukan isinya.
b.      Langgar dan masjid (komunitas santri lokal)
Kiyai serta pondoknya, dengan demikian sudah merupakan dan sampai tingkat tertentu masih merupakan inti struktur sosial Islam pedesaan dan puncak dari kultur kolot. Digabungkan disatu pihak dengan ibadah haji dan pihak lain dengan langgar (yang biasanya sepekarangan dengan rumah pribadi), hal yang sebagian merupakan sekolah, sebagian tempat peribadatan dan sebagian lagi persaudaraan agama ini, mengaitkan umat diJawa dengan dunia Islam yang lebih luas serta menentukan sifat ortodoksinya. Melalui para kiyai, haji yang kembali dari Mekkah, konsep ortodoksi yang berlaku di ibu kota dunia Islam tersaring kebawah sampai kepada massa umat Islam. Pertama-tama kepada para santri mereka, kemudian kepada penduduk lainnya lewat masjid dan langgar yang merupakan titik terminal riil dari jalanin komunikasi.
c.       Tarekat
Dipondok-pondok sering terdapat perkumpulan mistik rahasia, persaudaraan esoterik dimana hanya minoritas kecil santri ikut serta, tetapi yang memiliki kekuasaan informal yang penting dalam pondok, seperti klub-klub ekslusif yang biasa ada di universitas. Dibumbui dengan ujian kekuatan, melukai tubuh dan puasa yang berkepanjangan, sekte dalam sekte ini intensitasnya tentu sudah hampir sama dengan beberapa perkumpulan mistik Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara. Akan tetapi, karena mereka sekarang sudah musnah dan tertutup, maka sulit untuk mengetahui terlalu banyak tentang mereka. Ada juga beberapa praktik mistik di langgar-langgar, orang-orang yang mengitung tasbihnya selama berjam-jam. Namun bentuk utama mistisisme yang mungkin adalah persaudaraan orang-orang tua yang berkerumunan disekitar seorang kiyai yang ahli dalam ilmu itu menjadi semacam pondok bagi orang-orang yang sudah berumur. Walaupun, sering juga santrinya pulang ke rumah disela-sela jam pelajaran dan beberapa orang yang lebih muda juga ikut serta.
Mistisisme semacam itu diJawa disebut tarekat. Walaupun berbagai sekte sufi telah memasuki Indonesia, diJawa Timur ada dua sekte yang utama, kodiriyah (qadariyyah) dan naksaband. Keduanya dianggap ortodoks karena para pengikutnya tidak meninggalkan rukun yang lazim. Mereka biasanya berjalan atas dasar teori perkembangan mistik  empat tahap: sarengat, menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang lazim, tarekat yang berarti teknik mistik yang khusus, hakekat yang berarti kebenaran atau kenyataan, dan makrifat yang berarti pengertian. Perumpumaan yang biasa digunakan adalah mencari mutiara, bagi penyelam mutiara, parahu berarti sarengat, pekerjaan mendayung yang dilakukan adalah tarekat, mutiaranya sendiri adalah hakekat serta pengetahuan yang diperolehnya bahwa ini benar-benar mutiara, kemampuannya membedakan mutiara yang sejati dan palsu adalah makrifaat, yang menjadi tujuan seorang penganut mistik.
Kemudian, pada perkembangannya sistem pendidikan ini mengalami perubahan menjadi madrasah swasta dan negeri.
3.      Varian Priyayi
Priyayi adalah orang-orang yang berada di birokrasi, pegawai dan guru bangsawan kerah putih. Pada awalnya varianpriyayihanya keturanan ningratsaja, akan tetapi pada perkembangannya pengertian ini mengalami perubahan.
Unsur bangsawan ini sekarang kurang penting. Priyayi pada awalnya merujuk kepada orang yang bisa menelusur balik asal-usulnya sampai kepada raja-raja besar Jawa pada zaman sebelum penjajahan yang setengah mitos. Namun, karena Belanda yang memerintah Jawa lebih dari 300 tahun itu, memperkerjakan kaum ini sebagai instrumen administratif dari kebijakan mereka. Oleh karena itu, pengertian istilah itu meluas mencakup orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristokrasi yang asli sudah habis.
Berikut adalah hasil wawancara Clifford Geertz dengan salah seorang juru gambar yang memiliki gelar priyayidi Kantor Irigasi tentang kelas. Ia mengatakan bahwa hanya ada dua kelas yaitu priyayi dan bukan priyayi. Priyayi adalah orang yang mengejakan pekerjaan halus yaitu mereka yang bekerja di pemerintahan. Sedangkan yang bukan priyayi terdiri atas orang yang melakukan pekerjaan kasar termasuk petani, buruh, pedagang dan lain-lain.
Ada beberapa ukuran yang bisa digunakan orang untuk membedakan priyayi dan bukan priyayi: pertama, kekayaan (tetapi dalam kenyataannya, priyayi sering tidak sekaya pedagang santri yang kaya, malah mungkin lebih miskin dibandingkan dengan kepada desa abangan yang kaya). Kedua, gaya hidup misalnya pakaian yang mereka kenakan, rumah tinggal mereka, cara mereka bertingkah laku, dan dengan siapa mereka bergaulkarena priyayi hanya bergaul secara eksklusif dengan sesama priyayi saja. Ketiga, atau aspek yang paling penting adalah keturunan.
Selain itu, orang juga bisa menjadi priyayi karena prestasi. Misalnya, banyak orang memiliki gelar master dan doktor berasal dari anak orang-orang desa yang kaya, kepala desa yang kaya, pedagang dan sebagainya. Akan tetapi menurut Wiro, salah satu informan Clifford Geertz mengatakan bahwa priyayi karena keturunan lebih tinggi dari priyayi manapun yang memperoleh gelarnya karena prestasi. Alasannya adalah mereka yang memperoleh kedudukan karena harta dan belajar memiliki rasa kemanusiaan yang kurang jika dibandingkan dengan priyayi dari keturunan.
Dalam kalangan priyayiada tiga titik utama kehidupan keagamaan yaitu etiket, seni dan praktik mistik, Clifford Geertz mengakui bahwa dia menggunakan kata agama disini dalam arti agak luas dari pada yang lazim digunakan, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan selama factor factor ini begitu berpadu, sehingga menelaahnya secara terpisah tidak akan banyak artinya. Etiket, seni dan praktik mistik merupakan usaha berurutan dari priyayi selagi ia bergerak dari permukaan pengalaman manusia menuju ke dalamnya, Dari aspek luar kehidupan menuju aspek dalamnya. Etiket, polesam kelakuan antar orang menjadi adat yang pantas dalam pergaulan, memberikan formalitas kerohanian kepada prilaku sehari hari, disiplin ganda atas pikiran dan badan, mengungkapkan arti penting dalam melalui gerak gerik luar. Praktik mistik, pengaturan intensif atas kehidupan pikiran serta perasaan, mengorganisasikan sember sumber spiritual untuk diarahkan ke bijaksanaan yang tertinggi. Mata rantai yang menghubungkan ketiganya, yakni unsur serupa yang mengikat mereka menjadi satu dan membuat ketiganya hanya menjadi modus berbeda dari realitas yang sama adalah apa yang oleh orang Jawa dengan meminjam sebuah konsep dari India disebut rasa.
Rasa memiliki dua arti utama, perasaan dan makna. Sebagai perasaan ia merupakan salah satu pancaindra tradisional melihat, mendengar, bicara, mencium dan merasa. Didalamnya terkandung tiga aspek perasaan yang menurut pandangan kita tentang pancaindra terpisah: rasa pada lidah, sentuhan pada tubuh serta perasaan emosi dalam hati kesedihan, sebahagiaan dan sebagainya. Rasa sebuah pisang adalah rasanya. Sebuah firasat adalah rasa, sakit adalah rasa dan demikian pula nafsu.
Sebagai makna rasa digunakan dalam surat, sejak atau malah dalam pembicaraan untuk menunjukkan yang tersirat dalam jenis saran kiasan melihat keutara untuk mengenai yang diselatan yang sangat penting dalam komunikasi orang Jawa. Ia juga diberi penerapan yang sama dengan perbuatan luar pada umumnya untuk menunjukkan makna tersembunyi. Rasa konotatif dalam gerak tari, sikap yang sopan dan sebagainya. Akan tetapi, dalam arti kedua ini ia juga adalah arti tertinggi, makna terdalam yang dicapai orang berkat usaha mistik dan yang penjelasannya memecahkan semua ambiguitas eksistensi dunia. Rasa, kata salah seorang informan saya yang artikulatif sama dengan hidup. Semua yang hidup memiliki rasa dan semua memiliki rasa pasti hidup. Atau apapun yang hidup mempunyai makna dan apapun yang mempunyai makna, hidup. Jika definisi pertama atau yang sensasionalis mengenai rasa menunjukkan baik rasa dari luar (rasa dilidah dan kulit) maupun dari dalam (emosi) maka definisi rasa yang kedua atau semantik menunjukkan baik makna kejadian - kejadian lahir, dunia prilaku luar dari suara, bentuk serta gerak gerik maupun kejadian-kejadian batin yang jauh lebih misterius, dunia kehidupan dalam yang berubah-ubah.
Dari paparan tersebut dapat disimpulankan kalangan priyayi percaya bahwa  semakin alus perasaan seseorang, maka semakin tajam pengertiannya dan semakin tinggi watak moralnya maka semakin cantik pula aspek-aspek luarnya.
Berikut penjelasan singkat tentang ketiga dimensi kepercayaan priyayi.
a.      Etiket
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yaitu bentuk yang tepat untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan dan menghindari tiap perbuatan yang menunjukkan kekacauan atau kurangnya pengendalian diri.
b.      Seni
Seni dalam kehidupan priyayi dapat dibedakan menjadi tiga rumpun, antara lain:
1)      Rumpun I : Kompleks “Seni Alus”
a)      Wayang – yang menggunakan boneka kayu atau kulit untuk mendramatisasi cerita– cerita versi Jawa dari epos India, Mahabharata dan Ramayana, atau versi mitologis dari sejarah kerajaan-kerajaan Jawa sebelum masa kolonial.
b)      Gamelanorkes tabuh yang dapat dimainkan sendiri atau mengiringi wayang atau berbagai bentuk seni lainnya.
c)      Lakonsecara harfiah berarti alur atau skenario sebuah mitos yang bisa di dramatisasi dalam wayang, tetapi sering hanya diceritakan secara lisan sebagaimana biasanya mitos.
d)     Jogedtarian keratin Jawa, yang bisa berdiri sendiri atau menarikan lakon lakon wayang.
e)      Tembang sajak yang ditulis dalam berbagai bentuk yang kaku, yang biasa dibaca atau dinyanyikan, dengan iringan gamelan kalau mau.
f)       Batik dekorasi tekstil dengan metode lilin dan pencelupan.
2)      Rumpun II: Kompleks “Seni Kasar”
a)      Ludrug lawakan rakyat, melibatkan laki-laki yang mengenakan baju perempuan dan pelawak rendahan sebagai tokoh utamanya.
b)      Kledek penari perempuan jalanan, yang menari baik sebagai penari keliling “dari pintu kepintu” maupun sebagai penari yang disewa untuk memeriahkan pesta perkawinan, khitanan dan sebagainya.
c)      Jaranan tarian rakyat, dimana para penari “menunggang” kuda kertas dan menjadi keserupan, berbuat seolah olah mereka itu kuda.
d)     Dongeng cerita rakyat, legenda, fable dan sebagainya. Perbedaan utamanya dari lakon terletak pada fakta bahwa dongeng selalu dikisahkan secara lisan dan tak pernah di dramatisasi dalam wayang.
3)      Rumpun III: Kompleks “Seni Nasional”
a)      Orkes “Band tari” populer (walaupun tak seorangpun pernah menari bersamanya) terdiri hamper seluruhnya dari instrument petik banjo, gitar dan sebagainya.
b)      Lagu nyayian populer yang dimainkan hampir tanpa henti diradio dan dinyanyikan pada pesta khitanan, perkawinan serta berbagai peristiwa seperti itu oleh vokalis yang di iringi orkes. Pada mulanya dipolakan menurut model musik rakyat yang diilhami musikPortugis dari berbagai daerah di Indonesia, sekarang ini mereka semakin mendekati modelmodel Barat modern yaitu Amerika.
c)      Kesusasteraan Indonesia novel, sajak, cerita pendek dan sandiwara modern bergaya barat, yang di tulis dalam bahasa Indonesia bahasa nasional.
d)     Bioskop film, Barat maupun Indonesia (atau melayu).
c.       Praktik mistik
                        Berikut adalah delapan postulat yang telah diikhtisar oleh Clifford Geertz tentang praktik mistik yang dilakukan oleh varian priyayi, antara lain:
1)      Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang baik dan buruk, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan saling bergantung secara inheren serta tak bisa dipisahkan. Tak seorang pun bisa bahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang waktu, tetapi terus menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari, dari jam ke jam, menit ke menit. Variasi ini sama untuk semua perasaan cinta, benci, takut dan sebagainya. Selanjutnya tujuan hidup bukanlah untuk memaksimalkan perasaan yang positif dan meminimalkan yang negatif, yakni pengejaran kebahagiaaan yang pada hakikatnya tidak mungkin, sebab maksimalisasi sebuah perasaan juga mengandung maksimalisasi perasaan yang sebaliknya. Maka yang menjadi tujuan adalah meminimalkan semua nafsu sedapat mungkin, membungkam semua itu untuk mengerti perasaan yang lebih benar, yang terletak dibaliknya. Yang menjadi tujuan adalah tentrem ing manah, kedamaian (ketenangan, ketentraman) di dalam hati (tempat kedudukan emosi).
2)      Di bawah atau dibalik perasaan manusiawi yang kasar ada makna perasaan dasar yang murni, rasa yang pada saat bersamaan merupakan diri sejati seorang individu (aku) dan manifestasi Tuhan dalam diri individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar untuk seseorang mistikus priyayi terletak dalam persamaan: rasa = aku = Gusti.
3)      Tujuan manusia adalah untuk tahu atau merasakan rasa tertinggi ini dalam dirinya. Prestasi demikian membawa kekuatan spiritual, sebuah kekuatan yang bisa digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal duniawi.hanya ada sedikit perhatian terhadap ganjaran diluar dunia ini. Sepanjang hal semacam itu mungkin, ini merupakan mistimisme yang bersifat duniawi.
4)      Untuk memperoleh pengetahuan tentang rasa tertinggi ini, orang harus memiliki kemurnian kehendak, harus memusatkan kehidupan batin sepenuhnya untuk mencapai tujuan tunggal ini, mengintensifkan dan memusatkan semua sumber-sumber spiritualnya pada satu titik kecil, seperti kalau orang memusatkan sinar matahari melalui kaca pembesar untuk menghasilkan panas maksimum pada satu titik. Alat utama untuk memperoleh kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya seperti ini adalah:
a)      Penumpulan kehidupan instingtif seseorang, mengangkat diri di atas kebutuhan fisiologis sehari-hari.
b)      Disiplin dalam penarikan diri dari minat duniawi untuk jangka waktu lama atau sebentar dan pemusatan terhadap hal hal yang dalam.
Yang paling penting diantara disiplin instingtif adalah puasa, bergadang dan abstensi seksual. Penarikan diri sementara dari minat kepada dunia lahir disebut semadi atau dalam bentuknya yang paling intensif yang tak pernah dipraktikkan sekarang,tapi yang terdiri atas duduk lurus berdiam diri secara mutlak dan menggosongkan kehidupan dalam kita dari semua isi duniawi sejauh mungkin.
5)      Selain disiplin spiritual dan meditasi, studi empiris terhadap kehidupan emosional, sebuah psikologi metafisik juga memunculkan pengertian serta pengalaman dan dianggap sebagai teori yang berkaitan dengan praktik berpuasa serta kewajiban lainnya. Satu rangkaian variasi dari beberapa sekte mistik, setidaknya di Mojokuto tampaknya terletak disepanjang kontinum ini sesuai dengan titik berat yang mereka berikan terhadap pengendalian naluri serta meditasi disatu pihak dan refleksi serta analisis dipihak lain, tetapi tak satu pun mengabaikan salah satu dari keduanyakarena keduanya mendukung dan memperkuat satu sama lain.
6)      Karena orang berbeda-beda dalam kesanggupannya melaksanakan disiplin spiritual itu (dan sekarang ini tak seorangpun memiliki kemampuan sebaik orang-orang dizaman dahulu) untuk waktu yang lama, mereka mampu berpuasa, tidak tidur dan bermeditasi dan berbeda-beda pula dalam kesanggupannya melakukan analisis sistematik tentang pengalaman dalam (atau memahami sebuah analisis yang sudah dilakukan seorang guru terkenal) maka mungkinlah untuk meletakkan orang pada tingkatan yang berbeda-beda menurut kesanggupan dan prestasi spiritualnya, sebuah penggolongan yang menimbulkan sistem guru murid, dimana seorang guru yang maju mengajar kepada murid yang kurang maju, sedangkan ia sendiri merupakan murid dari guru yang lebih maju lagi.
7)      Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua orang adalah satu dan sama. Tidak ada individualitas, karena rasa aku dan Gustiadalah objek abadi yang sama dalam semua orang, walaupun pada tingkatan pengalaman sehari-hari individu-individu dan bangsa- bangsa dapat dikatakan memiliki kedirian yang berbeda dan perasaan yang berbeda pula (sekalipun bahkan disini ada sebuah unsur bersama yang penting) mereka pada dasarnya sama. Kombinasi pengertian ini dengan ide mengenai hirarki yang didasarkan atas prestasi rohaniah menimbulkan sebuah etika yang menganjurkan keterlibatan yang terus meningkat dalam merasakan perasaan orang lain, dimulai dari keluarga sendiri,lalu para tetangga, desa, distrik dan Negara sampai keseluruh dunia (hanya beberapa orang suci saja, Gadhi, Isa, Muhammad yang dianggap telah mencapai simpati universal seperti itu) dan sebuah pandangan organicfeudal tentang organisasi sosial, dimana individu serta kelompok mempunyai tempat dimasyarakat sesuai dengan anggapan tentang kesanggupan rohaniah mereka.
8)      Karena tujuan semua manusia seharusnya dan praktik-praktiknya hanyalah alat untuk mencapai tujuan itu dan hanya baik sepanjang semua itu bisa membawa kesana. Ini menimbulkan pandangan yang relativistic terhadap sistem–sistem seperti itu, dimana beberapa sistem dianggap memang baik untuk beberapa orang dan yang lain baik bagi orang-orang lain serta semuanya memiliki beberapa kebaikan untuk seseorang, dengan demikian toleransi mutlak itu diperintahkan, meskipun tidak selalu dipraktikkan dengan sempurna.
4.      Kesimpulan
Clifford Geertz menyimpulkan bahwa ada tiga varian keagamaan di Mojokuto, yaitu Abangan, Santri dan Priyayi. Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa agama tidak hanya memainkan peran yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tetapi juga memainkan peran memecahkan satu sama lain. Hal ini mencerminkan perimbngan antara kekuatan integratif serta disintegratif yang ada dalam tiap sistem sosial.
Adapun hal-hal yang mempertajam konflik antara lain:
a.       Konflik ideologis yang hakiki karena ketidaksenangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
b.      Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung memaksakan adanya kontak di antara individu-individu serta kelompok-kelompok yang dulunya secara sosial sedikit banyak terpisah.
c.       Perjuangan kekuasaan politik yang meningkat dengan tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, yang cenderung mempertajam perbedaan agama dengan kepentingan politik.
d.      Kebutuhan akan kambinghitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang cepat.
Sedangkan hal-hal yang meredakan konflik antara lain:
a.       Perasaan berkebudayaan satu, termasuk semakin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya.
b.      Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung, murni dan sederhana dalam bentuk-bentuk sosial, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, sehingga komitmen keagamaan serta komitmen lainnya – kepada kelas, tetangga dan sebagainya – cenderung seimbang serta muncul berbagai individu dan kelompok “tipe campuran”, yang bisa memainkan peran perantara.
c.       Toleransi umum yang didasarkan atas “relativisme” kontekstual yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil “misionisasi”.
d.      Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistik dan non-sinkretis, dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain serta menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.  
E.     Manfaat Penelitian
Menurut Parsudi Suparlan, arti penting karya Geertz ini adalah sumbangannya kepada pengetahuan kita mengenai sistem-sistem simbol. Yaitu, bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol; serta bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasikan dan memanifestasikan simbol-simbol. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang tampak antara struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat hanya bersifat komplementer.[10]
Selain itu ada pelajaran yang sangat berharga dengan membedah buku Geertz ini, yaitu pendekatan antropologinya yang khas disertai sisi-sisi etnografi yang bersifat deskriptif. Dari situ kita akan mengetahui pranata-pranata sosial yang secara alami berkembang di Jawa, yang kemudian oleh Geertz dibagi menjadi tiga yaitu santri, priyayi, dan abangan. Dan uniknya ketiga golongan itu masih menyerap tradisi Jawa.
F.     Kelebihan dan Kekurangan Buku  
1.      Kelebihan
Menurut kami kelebihan bukuAgama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawayang ditulis oleh Clifford Geertz ini adalah disertakannya atau ditulisnyahasil wawancara peneliti dengan berbagai informan dalam buku tersebut. Karena hal demikian merupakan penguat dalam penelitian ilmiah.
Kelebihan berikutnya adalah Clifford Geertz memberikan deskripsi realitas sosial keagamaan yang berangkat dari studi-studi empirik dengan sangat lengkap.
2.      Kekurangan
Menurut Prof. Bachtiar, penggunaan istilah abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah tepat. Sebab ketiganya tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama, abangan dan santri merupakan penggolongan yang dibuat berdasarkan tingkat ketaatan dalam beribadah sementara priyayi merupakan suatu penggolongan berdasarkan tingkat sosial.[11]
Adapun menurut Zaini Muhtarom dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Santri dan Abangan di Jawa" menjelaskan bahwa pengklasifikasian orang Jawa menjadi abangan, santri dan priyayi sebagaimana yang dilukiskan Clifford Geertz mengacaukan dan menyesatkan sebab tidak didasarkan pada kriteria yang konsekuen. Ia mengacaukan dua pembagian yang termasuk sususan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horizontal dan vertikal, sementara ia melupakan perbedaan antara stratifikasi horizontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa. Dengan merujuk pada stratifikasi pola Kuntjaraningkrat, Muhtarom menyebutkan bahwa istilah santri dan abangan telah menunjukkan dua varian religius dalam kebudaayaan Jawa, sementara istilah priyayi tidak menunjukkan tradisi religius apapun juga.[12]
Berkaitan dengan kekurangan buku ini, kami juga sependapat dengan Prof. Bachtiar dan Zaini Muhtarom karena fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa sebagian priyayi adalah abangan dan sebagiannya (priyayi) lagi adalah santri. Geertz juga menjelaskan dalam bukunya bahwa status priyayi itu bisa didapatkan oleh abangan dan santri melalui prestasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yatimin. StudiIslamKontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.
Ali Abdul Halim Mahmud, dkk. TradisiBaru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001.
Geertz, Clifford. The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto dengan judul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013).
            Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Cet:XXI, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
            https://id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz (Diunduh pada tanggal 03 Desember 2016)


[1]Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 81-82.   
[2]https://id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz (Diunduh pada tanggal 03 Desember 2016)
[3] Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 82.   
[4]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet:XXI, Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 397-398.
[5] Ali Abdul Halim Mahmud, dkk. TradisiBaru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 180.
[6] Yatimin Abdullah, StudiIslamKontemporer (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 67.
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi..., hlm. 35.
[8]Ibid.
[9] Yatimin Abdullah, StudiIslam..., hlm. 67.
[10] Clifford Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto dengan judul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, (Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 561.
[11] Abuddin Nata, Metodologi Studi..., hlm.396-397.
[12] Mahli Zainudin Tago, “Agama dan Integrasi Sosial dalam Pemikiran Clifford Geertz,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam – Vol. 7, 1 (2013), hlm. 90.   

Bangsal Menggawe; sebuah catatan pribadi #4

Sudah cukup lama saya tidak lagi menggeluti sepak bola. Terakhir, seingatku, dua tahun berturut-turut menjadi juara ke tiga tingkat kecama...